Kamis, 27 November 2008

Jembatan Barelang 1

Pesona Abadi Jembatan Para Raja

Menjadi penghubung pulau Batam, Rempang dan Galang, Jembatan Barelang memiliki pesona dan keindahan yang sanggup mengundang decak kagum.

Selama ini Batam yang terletak di kepulauan Riau, terkenal sebagai pusat belanja benda-benda elektronik yang menarik dan lebih murah dibandingkan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Karena itu, tidak banyak yang menyangka jika di kota dengan penduduk sangat heterogen ini, terdapat objek wisata yang sangat memikat. Objek wisata itu berupa sebuah jembatan yang terkenal dengan nama Jembatan Barelang (Batam, Rempang dan Galang).


Untuk bisa sampai di jembatan sepanjang 264 meter ini, pengunjung harus menggunakan angkutan umum atau mobil pribadi lebih kurang 30 menit dari Bandara Hang Nadim, Batam. Disepanjang jalan yang dilalui, akan terpampang gugusan perbukitan yang mulai terbuka karena dijadikan areal perumahan atau dikeruk tanahnya untuk pembukaan lahan. Maklum sebagai daerah yang berbatasan langsung dangan Singapura, Batam mulai dilirik sebagai kota yang menjanjikan.

Demikian pula ketika rombongan dari Departemen Budaya dan Pariwisata (Budpar RI) menginjakkan kaki dilokasi ini. Keindahan jembatan yang dibangun 1992 dan selesai 1998 ini, mulai terlihat dari kejauhan dengan tiang-tiang baja yang tertata apik, sehingga membuat jembatan ini terlihat menjulang tinggi dengan kokohnya. Maklum jembatan ini dibangun oleh BJ Habibie, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Untuk pembangunan Jembatan Barelang sendiri biaya yang dikeluarkan lebih dari Rp 400 miliar.


Sesampai di jembatan ini, pemandangan akan semakin memikat. Apalagi jika turun dari mobil dan menikmati angin laut yang bertiup. Dari pinggir jembatan akan terlihat keindahan pulau-pulau kecil dengan air laut yang terhampar biru di bawahnya. Ini menjadikan Jembatan Barelang banyak dikunjungi anak-anak muda disore hari untuk duduk dan menikmati hamparan keindahan yang tersaji menjadi lukisan abadi.

Jembatan Barelang sendiri dibuat untuk menghubungkan tiga pulau besar dan beberapa pulau kecil yang termasuk dalam Provinsi Kepulauan Riau. Rangkaian jembatan ini terdiri dari enam jembatan. Masing-masing diberi nama sesuai dengan raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Melayu Riau pada abad 15 sampai 18 Masehi.

Jembatan pertama dari rangkaian enam jembatan ini diberi nama Jembatan Barelang atau terkanal pula dengan nama Jembatan Tengku Raja Haji Fisabilillah. Jembatan pertama ini menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Tonton. Jembatan kedua diberi nama Jembatan Narasinga. Jembatan ini menghubungkan Pulau Tonton dengan Pulau Nipah dengan panjang 420 meter. Jembatan ketiga adalah Jembatan Raja Ali Haji, yang menghubungkan Pulau Nipah dengan Pulau Setokok, dan memiliki panjang 270 meter. Pulau Tonton, Pulau Nipah, dan Pulau Setokok, merupakan pulau-pulau kecil yang masuk dalam gugusan Kepulauan Batam.

Jembatan keempat adalah Jembatan Sultan Zainal Abidin. Jembatan sepanjang 365 meter ini, menghubungkan antara Pulau Setokok dengan Pulau Rempang. Kelima adalah Jembatan Tuanku Tambusai dengan panjang 365 meter. Jembatan ini, menghubungkan antara Pulau Rempang dengan Pulau Galang. Jembatan terakhir dinamai Jembatan Raja Kecil, yang menghubungkan Pulau Galang dengan Pulau Galang Baru. Jembatan ini, merupakan jembatan terpendek hanya sepanjang 180 meter.

"Jembatan Barelang memang indah dan memiliki pemandangan yang menarik. Namun tidak semua turis menyukainya. Untuk itulah kita menyertainya dengan festival-festival kebudayaan," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Batam, Muchsin.

Jembatan Barelang menurut Muchsin banyak dikunjungi oleh wisatawan nusantara. Sedangkan untuk Wisatawan mancanegara lebih menyukai semua yang bernuansa budaya dan kesenian," kata Muchsin lagi.

Tidak sampai disitu saja, keindahan yang disajikan oleh Jembatan Barelang ternyata cukup beralasan. Karena jembatan menggunakan kontruksi cable stayed dimana ujung-ujung kabel terikat di tepi jalan dengan jarak teratur. Sedangkan ujung lainnya terkumpul pada satu titik di atas puncak tonggak beton setinggi 200 meter. Itulah yang membuat jembatan ini terkesan kokoh dan elegan.

Lokasi sepanjang Jembatan Barelang, baik yang dari Batam ataupun diseberangnya, menjadi semakin meriah dengan keberadaan warung-warung traadisional yang menyajikan aneka camilan ringan. Diantara yang paling favorit itu adalah jagung bakar dengan saus aneka rasa. Selain menjual jagung bakar, bisa pula ditemukan aneka suvenir kecil untuk cindera mata. Terkenal sebagai ikonnya Batam, Jembatan Barelang menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakatnya. "Belum lengkap mengunjungi Batam jika belum datang ke Jembatan Barelang. Karena telah menjadi ikon Batam itu membuat kita akan semakin meningkatkan iven-iven kesenian disini," terang Muchsin lagi. (bernadette lilia nova)

Jembatan Barelang 2

Temu Kangen Masyarakat Rantau

Rindu kampung halaman, itulah yang dirasakan oleh warga Singapura yang masih memiliki darah kelahiran Indonesia khususnya Batam di Singapura. Walaupun tinggal menyeberang lebih kurang 20 menit saja, namun tidak selalu mereka bisa datang ke Batam untuk mengobati kerinduan terhadap kampung halaman dan tanah tumpah darah tercinta.

Untuk mewadahi dan memudahkan warga keturunan Batam di Singapura mengobati kerinduan tersebut, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI (Budpar) bekerjasama dengan Pemerintah kota Batam, menggelar acara bertajuk Temu Kangen Warga Perantauan di Batam. Acara dilangsungkan di Hotel Golden View, Jalan Bengkong Laut, Batam. Diikuti oleh 250 Warga Singapura keturunan Indonesia dan Batam pada khususnya. Dalam temu kangen yang dimeriahkan dengan pementasan atraksi budaya dari Indonesia, Singapura dan Melayu ini diikuti oleh suku-suku seperti Suku Bawean, Jawa, Padang dan Melayu.

"Masyarakat Singapura keturunan Indonesia khususnya Batam, sangat mendukung adanya ajang temu kangen ini. Dengan adanya acara ini, bisa kembali mengingatkan Masyarakat Singapura keturunan atas negeri kelahiran mereka," kata Pengurus Persatuan Bawean Singapura Mohamed Arifin Bin Mohamed Salleh.

Ajang temu kangen yang baru pertama dilangsungkan ini, bertujuan untuk mendorong Pemerintah Daerah dan swasta untuk meningkatkan promosi kebudayaan dan pariwisata dalam negeri Indonesia. "Dengan adanya acara temu kangen ini kita bisa memberikan gambaran kepada generasi muda untuk mengetahui bagaimana budaya leluhur mereka," tambah Arifin.

Melihat respon yang diberikan oleh masyarakat Singapura keturunan Batam, Arifin mengaku ajang serupa akan digelar ditahun-tahun mendatang. Untuk menyukseskan ajang temu kangen ini Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Batam, menggandeng sejumlah asosiasi kepariwisataan seperti, Batam Tourism and Cultural Board, Asita Batam, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia Batam dan Batam Tourism Board.

Sementara itu, senada dengan Arifin, Kadin Kebudayaan dan Pariwisata Batam, Muchsin mengaku secara keseluruhan berdasarkan data perkembangan wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia (1997-2007), jumlah kunjungan wisman semakin meningkat. Bahkan pada tahun 2008, Batam menargetkan 1.200.000 wisatawan mancanegara datang ke Batam. (bernadette lilia nova)

Pulau Galang 1

Menyusuri Sejarah Kamp Pengungsi Vietnam

Bekas kamp pengungsian Vietnam yang masih bisa ditemukan jejak dan cerita sejarah di dalamnya terdapat di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau.

Batam adalah sebuah pulau yang penuh dengan kejutan. Kota kepulauan yang berbatasan langsung dengan Singapura itu dikenal sebagai kota bisnis dan tidak banyak yang mengekspose potensi alam yang ada di dalamnya. Karena setiap kali mengunjungi Batam, kebanyakan orang hanya ingin berbisnis atau membeli barang-barang elektronika.

Selain keindahan Jembatan Barelang, Batam ternyata juga memiliki Pulau Galang dengan sejarah kemanusiaan yang penting bagi masyarakat internasional. Bagaimana tidak, di pulau yang telah dihubungkan dengan jembatan tersebut, pernah bermukim 250.000 warga negara Vietnam yang mengungsi dari negaranya akibat perang saudara tahun1975.


Dari pusat kota Batam, dibutuhkan 1,5 jam untuk sampai ke tempat itu. Selain itu dibutuhkan pula kesabaran, karena jalanan yang ditempuh adalah jalanan yang masih sepi dan jalan raya yang dilalui sangat lurus, sehingga terkesan membosankan. Bagi pengunjung yang ingin menyaksikan sendiri jejak sejarah yang masih tersisa di pulau ini harus waspada dengan kondisi mobil yang digunakan. Karena sepanjang jalan hingga ketujuan, tidak ada satupun SPBU.

Setelah melewati lima rangkaian jembatan yang menghubungkan Batam dengan pulau-pulau kecil disekitarnya, jalanan akan semakin sepi apalagi ketika memasuki gerbang yang bertuliskan Galang Refugee Camp Memorial. Suasana ala perkampungan Vietnam mulai terasa, apalagi ketika rombongan kecil dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar RI), melewati sebuah monumen bernama Humanity Statue. Dari tulisan di dekat patung, tertulis bahwa patung itu didirikan oleh para pengungsi untuk mengingat musibah yang menimpa wanita bernama Tinh Nhan. Perempuan itu diperkosa oleh sesama pengungsi di lokasi di mana patung itu kini berada. Tinh Nhan bunuh diri tidak lama setelah itu.

Semakin memasuki areal pengungsian ini, suasana semakin sunyi. Tidak jauh dari tugu kemanusiaan, mata akan tertumbuk pada Pemakaman Ngha Trang. Di areal ini terdapat 503 makam. Di pintu masuk makam tertulis,dedicated to the people who died in the sea on the way to freedom.

Walaupun terkadang terasa mencekam, namun Camp Sinam tetap menarik dengan keberadaan perahu yang digunakan pengungsi untuk menyeberang ke Pulau Galang. Perahu itu dijadikan sebagai simbol penderitaan pengungsi. Lebih keatas lagi, terdapat sebuah barak lengkap dengan ruangan penjara dibagian bawahnya. "Ketika kamp pengungsian ini dibangun, ada pula masyarakatnya yang melakukan tindak kriminal. Makanya dibangun pula penjara," kata Kepala Administrasi Camp Sinam Said Adnan.

Berhadap-hadapan dengan barak dan penjara, terdapat komplek museum. Walaupun kecil namun kenangan atas keberadaan pengungsi Vietnam terasa kental. Apalagi karena di dalam museum bisa ditemukan ribuan foto wajah pengungsi dalam dua warna, hitam putih. Terdapat pula puluhan patung Budha dan Bunda Maria yang digunakan masyarakat untuk beribadah.

"Secara garis besar pengungsian ini dibagi menjadi Galang satu dan Galang dua, namun sarananya sangat lengkap waktu itu. Ada rumah sakit, youth center, kelenteng hingga gereja," tambah Adnan lagi.

Walaupun sarat dengan kenangan bersejarah, banyak pula bagian dari kamp pengungsian ini yang dibiarkan hancur. Disepanjang jalan, banyak terlihat barak yang sangat tidak terawat. Bahkan terdapat barak yang mulai miring menunggu roboh dengan rumput yang tumbuh menjalar hingga ke atap. Suasana semakin mencekam ketika melewati sebuah bangunan besar. Bangunan itu berisi puluhan mobil berbagai jenis yang sudah dimakan karat. "Sebagian dari kamp ini diperbaiki seperti bekas penjara, rumah sakit milik UNHCR. Bahkan gereja katholik di komplek ini masih sangat terawat," terang Adnan lagi.


Camp Sinam yang mulai dibangun era Soeharto atas bantuan dana dari UNHCR yaitu organisasi di PBB yang menangani pengungsi ini, sebenarnya sangat cocok dijadikan sebagai objek wisata sejarah yang tidak mungkin terlupa. Walaupun bagi masyaraka Indonesia Camp Sinam menjadi kebanggaan tersendiri, karena bisa membantu pengungsi korban perang, namun tidak demikian dengan pemerintah Vietnam sekarang. "Bagi Indonesia itu adalah bentuk tingginya toleransi pada pengungsi perang. Namun ternyata Pemerintah Vietnam sekarang menganggap sebagai aib," kata Kadin Pariwisata Kota Batam Muchsin.

Bagian lain dari tempat pengungsian yang tetap berdiri dengan anggun adalah sebuah gereja yang dibangun dengan nama Gereja Maria Dikandung Tanpa Noda. Dihalaman bangunan ibadah ini masih bahkan ada patung perahu dengan Bunda Maria di atasnya. Untuk mencapai gereja ini, tersedia pula sebuah jembatan yang masih kokoh hingga kini.

Tercatat Pulau Galang mencuat namanya sekitar tahun 1970-an .Adalah UNHCR (United Nation High Commission for Refugees) yang memprakarsai dibangunnya kamp pengungsian ini. "Setelah Camp Sinam ditutup, para pengungsi banyak yang pindah ke negara-negara ketiga. Bahkan 2005 masih ada pengungsi yang datang untuk melakukan reuni di pulau tersebut," tambah Muchsin. (bernadette lilia nova)

Pulau Galang 2

Vihara Menghadap Ke Laut

Usai mengelilingi Camp Sinam dengan semua kenangan tentang pengungsi Vietnam di dalamnya, yang tidak kalah menarik untuk disinggahi ketika berada dikawasan ini adalah terdapatnya sebuah vihara bernama Quan Am Tu Quil. Dibangun di atas bukit membuat vihara ini menjadi semakin cantik. Apalagi dengan patung Dewi dengan dua pengiring yang berukuran besar. Lebih kurang lima meter ketinggian masing-masing patung.

Warna-warna cerah dari vihara ini membuat suasana sangat bertolak belakang dengan situasi keseluruhan Camp Sinam. Bahkan vihara ini menjadi objek paling banyak dikunjungi. Vihara semakin menarik karena dibangun menghadap langsung ke sebuah teluk dengan air yang menghampar biru. Rimbunnya hutan mangrove juga terlihat menyegarkan dilihat dari komplek peribadatan ini.

Bahkan ketika rombongan dari Budpar RI sampai dilokasi, di hadapan patung masih tertancap hiu persembahan yang masih mengeluarkan asap. Tanda masih banyak yang datang untuk beribadah. "Memang hingga sekarang, viharaitu masih digunakan oleh masyarakat untuk beribadah," kata Kepala Administrasi Camp Sinam Said Adnan.

Tidak sampai disitu saja, ketika rombongan kecil kami sampai dilokasi, seorang ibu dengan anaknya, yang menjadi penjaga vihara, ternyata juga menjual minuman botol. Jadi setelah capek berkeliling di kamp, vihara ini menjadi tempat yang nyaman untuk melepas lelah untuk sesaat. (bernadette lilia nova)

Selasa, 18 November 2008

Kendari 1

Taman Dan Teluk Di Dalam Kota

Mengunjungi Kendari belumlah lengkap sebelum duduk di taman kotanya atau makan malam disepanjang pantai yang menawarkan ketenangan.


Matahari bersinar cerah dan angin yang bertiup bebas menyegarkan, adalah dua hal yang sangat mudah ditemukan di Kendari (Sulawesi Tenggara). Dari Jakarta untuk mencapai Kendari, Pesawat akan transit terlebih dahulu di Makassar. Terkadang transit ini bisa memakan waktu enam jam. Karena memang rute penerbangan ke Kendari hanya dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore hari saja.

Demikian pula dengan kesibukan Bandar Udara Wolter Mongonsidi di Kendari. Pada siang hari akan ditutup. Bandara hanya dibuka pada jam-jam kedatangan dan keberangkatan pesawat saja. Bersantai sambil melepaskan lelah bisa dilakukan di bandara ini, karena sepi dan jauh dari kesan bising seperti Jakarta atau kota-kota besar lainnya.

Dengan duduk di kursi tunggu bandara, sambil menghirup secangkir kopi atau teh yang banyak dijual di kafe-kafe bandara, karakter Kota Kendari akan terlihat berbukit-bukit. Jika Sudah bosan menikmati pemandangan tersebut, bisa memilih taman bersantai yang banyak dikunjungi oleh anak-anak muda di Kendari, untuk menikmati keindahan dan kesejukan kolaborasi taman dan teluk di dalam kota.

Taman kota itu terletak di Jalan Sultan Hassanuddin. Dari bandara hanya dibutuhkan waktu lebih kurang 30 menit berkendara untuk mencapainya. Di taman ini selain dimanjakan dengan kesejukan dan kehijauan pemandangan, juga bisa dinikmati hamparan Teluk Kendari yang membentang di depannya.

Keunggulan lain dari taman kota di Kendari ini adalah, keberadaannya yang cukup terawat dan bersih. Taman kota ini semakin menarik dengan keberadaan patung-patung pemuda dan pemudi Kendari yang tengah menarikan tarian tradisional bernama Tarian Lulo yang melambangkan persahabatan anak muda di Kendari. Tugu itu menggambarkan pemuda dan pemudi yang tengah menari membentuk lingkaran dibuat lengkap dengan busana tradisional yang berwarna-warni.

"Tarian tradisional tersebut biasanya dibawakan ketika ada pesta-pesta besar. Walaupun demikian hingga sekarang tarian itu masih ditampilkan," kata salah seorang masyarakat kendari yang membuka usaha perhotelan di depan taman kota, Harisi Waingapu.

Keindahan taman kota dengan hamparan teluk yang membiru di depannya, semakin menarik dengan keberadaan tumbuh-tumbuhan dan bunga teratai yang bermekaran di dalamnya. Duduk di taman kota ini, suasana benar-benar tenang. Tidak heran jika pagi dan sore hari banyak orang datang dan menikmati keindahannya.

Taman kota dan Teluk Kendari hanya dibatasi oleh sebuah jalan raya. Setelahnya birunya air teluk sudah bisa dinikmati sambil duduk di taman ini. "Semakin sore semakin banyak orang datang ke taman ini. Karena disepanjang bibir pantai banyak yang berjualan makanan. Makanan bahkan dijual hingga tengah malam," kata Harisi lagi.

Bukan saja makanan yang dicari banyak orang yang datang pada malam hari di taman kota ini. Namun menikmati angin laut sambil duduk ditembok-tembok pembatas laut dengan jalan raya, menjadi pilihan yang perlu dicoba. Karena dengan duduk di malam hari di pinggir teluk, lautnya akan seperti dipenuhi oleh kunang-kunang yang berkelip dan terbang kesana kemari.

Padahal cahaya itu sebenarnya berasal dari perahu nelayan yang tengah melaut dengan lampu kecil sebagai penerangan. Jika mengunjungi Kendari, cobalah duduk di taman kota, hingga malam hari. Suasana akan terasa benar-benar berbeda dan mampu menenangkan jiwa setelah lelah seharian dalam perjalanan. (bernadette lilia nova)

Kendari 2

Rusa Di Taman Kota

Berbeda dengan banyak daerah di Indonesia yang penduduknya memelihara kambing ataupun sapi sebagai matapencarian, di Kendari banyak penduduk memelihara rusa. Terkadang untuk memberi makan rusa-rusanya, penduduk setempat mengikatkan rusanya di taman kota. Karena memang taman kota memiliki rumput segar yang bisa dimakan oleh para rusa.

Keberadaan rusa di dalam taman kota ini sebenarnya dilarang. Namun penduduk tetap saja membiarkan rusa-rusanya makan dari rumput di dalam taman. Karena memang rumput di taman pemotongannya belum dilakukan dengan teratur. Sehingga ketika rumput mulai meninggi penduduk memilih taman kota sebagai tempat makan rusa-rusanya.

Keberadaan rusa-rusa ini sebenarnya tidak terlalu menganggu pengunjung taman. Karena rusa yang diletakkan di taman terlebih dahulu diikat, sehingga tidak berkeliaran jauh ke dalam taman. Rusa hanya menempati pojok kecil taman saja. Namun keberadaannya terkadang menarik minat anak-anak untuk mendekat. Menyentuh rusa dan mengelus kepalanya, mungkin hanya bisa dilakukan di tempat ini. Karena rusa yang dipelihara di dalam taman kota tersebut sudah sangat jinak.

"Keberadaan rusa di taman kota ini, kalau menurut orang-orang yang tidak sering melihatnya, merupakan penambah cantik taman ini. Saya sendiri tidak terganggu dengan keberadaannya. Bahkan saya menyarankan agar rusa itu dilepaskan saja dari talinya agar lebih leluasa berkeliaran di taman," kata pengunjung taman yang juga warga Kendari Budiman.

Rusa di taman kota menurut pria yang baisa disapa dengan panggilan Budi tersebut, menjadikan taman kota memiliki keunikan dan ciri khasnya. Karena dibanyak kota, taman-taman hanya dimeriahkan oleh tugu dan sama sekali tidak memiliki binatang di dalamnya. "Walaupun rusa itu dipelihara oleh masyarakat, Menurut saya keberadaannya menambah cantik taman ini," terangnya. (bernadette lilia nova)

Pulau Renda 1

Merajut Asa Di Pulau Renda


Dihuni oleh Suku Bajo yang terkenal sebagai manusia laut, Pulau Renda mencoba mengembangkan potensi diri berlatar belakang keindahan alam .


Hembusan angin semilir dan matahari yang bersinar cerah, menjadi waktu paling tepat untuk mengunjungi pulau kecil di Tenggara Sulawesi. Pulau dengan luas 218 km persegi itu terkenal dengan nama Pulau Renda. Terletak di Kecamatan Napabalano, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Untuk bisa mengunjungi pulau yang masih asri itu, bisa menyeberang dari Pelabuhan Tampo selama satu jam dengan perahu yang bisa disewa dari penduduk setempat.


Warna laut yang kebiruan, sesekali terlihat ikan-ikan terbang melayang menghindari perahu, membuat penyeberangan terasa menyenangkan. Setelah satu jam bermain dengan ombak dan gelombang yang tidak terlalu besar, pulau kecil yang dulu dikenal dengan nama Bungin Sikalangkah, terpampang di depan mata. Sebuah dermaga yang belum jadi dan gapura berwarna gading menjadi penyambut selamat datang bagi siapapun yang menginjakkan kaki di pulau itu.

Pulau Renda sendiri dihuni oleh mayoritas Suku Bajo dengan jumlah 101 kepala keluarga berdasarkan data tahun 2007. Karena Suku Bajo terkenal memiliki jiwa pelaut dan tidak bisa hidup jauh dari laut, mereka membangun rumah di atas air di pinggir-pinggir pantai. Rumah-rumah berdinding anyaman bambu itu tertata cukup rapi. Sehingga jauh dari kesan kumuh. Anak-anak yang berenang ceria di pantai atau di bawah kolong rumah mereka, menjadi warna keseharian di pulau ini.

Kesederhanaan hidup yang bersahaja, sangat terasa. Walaupun begitu, berbagai fasilitas dan sarana umum sudah bisa ditemukan di dalam pulau yang berbatasan dengan Pulau Bontu-Bontu disebelah utara ini. Tidak jauh dari kebun kelapa milik masyarakat, berdirilah sebuah mesjid. Terdapat pula sebuah sekolah dasar, sehingga anak-anak pulau bisa mengenyam pendidikan dasar di pulau mereka sendiri. Di pulau yang terkenal dengan legenda bintang lautnya ini, juga terdapat pusat kesehatan masyarakat.

"Awalnya sebelum ada program Marine and Coastal Resources Management Project dan program Small Scale Natural Resources Management dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), masyarakat tidak tahu cara memelihara laut dan pantai," kata Sekretaris DKP Kabupaten Muna La Djono.

Sebelum program pemeliharaan sumber daya laut digalakkan seperti, melatih masyarakat membuat keramba tancap, budidaya rumpul laut dan penanaman terumbu karang, masyarakat Suku Bajo yang berdiam di Pulau Renda hanya bisa mencari ikan dengan menggunakan bom ikan. "Program itu mulai diuji coba tahun 2003. Sejak itulah pola mencari nafkah Suku Bajo di Pulau Renda berubah," ujar La Djono lagi.

Dalam program tersebut, selain diberi bantuan dana bergilir, masyarakat juga dilatih untuk mengolah sumber daya alam yang dimiliki. Perubahan dari menangkap ikan dengan bom, kini mulai berganti dengan dibuatnya keramba-keramba tancap. Keberadaan keramba selain sebagai mata pencarian masyarakat, bisa pula menjadi tontonan menarik pengunjung yang datang ke pulau itu. Di keramba yang berjarak 20 meter dari pantai, bisa dilihat proses pemberian makan ikan kerapu. Berbagai jenis ikan kerapu dipelihara, mulai dari kerapu macan, kerapu tikus hingga kerapu lumpur.

Harga ikan kerapu yang cukup mahal, bisa mencapai Rp 200.000 setiap satu kilogramnya, membuat memelihara ikan kerapu menjadi mata pencarian utama masyarakat Pulau Renda sekarang.. Selain membuat keramba tancap, masyarakat juga membudidayakan rumput laut yang dipanen 45 hari sekali. "Hasil panen yang didapatkan oleh masyarakat mulai dari ikan kerapu dan rumput laut, biasanya dibeli olah pengumpul yang datang. Kadang-kadang pula masyarakat menjual langsung ke pulau-pulau terdekat," kata Mantan Ketua Koperasi Bungin Sikalangkah Ahmad Yadi.

Satu-satunya kendala yang dihadapi oleh masyarakat Suku Bajo di Pulau Renda menurut Yadi adalah tidak terdapatnya sumur air tawar. Untuk keperluan air tawar, masyarakat menampung air hujan di dalam bak penampungan air. Jika hujan lama tidak turun dan bak penampungan air sudah kering, Suku Bajo akan berangkat membeli air ke pulau-pulau terdekat. "Saya yakin masyarakat bisa mendapatkan air bersih dengan mengebor tanah. Itu telah dilakukan oleh pulau-pulau lain dan mereka mendapatkan air bersih. Kita masih menunggu bantuan untuk itu," terang Yani.

Kesederhanaan masyarakat Pulau Renda dengan Suku Bajo di dalamnya, bisa menjadi contoh penghuni pulau kecil lainnya di Indonesia, untuk memberdayakan potensi alam yang bisa diolah. Hingga masyarakat bisa merenda sebuah asa yang tidak sia-sia, seperti di Pulau Renda misalnya. (bernadette lilia nova).

Pulau Renda 2

Mangrove Dan Kearifan Lokal


Tidak mudah mengubah sebuah tradisi. Apalagi jika berhubungan dengan hajat hidup masyarakat. Namun berkat kecintaan terhadap laut dan lingkungan disekitarnya, masyarakat Suku Bajo di Pulau Renda mampu mengubah kebiasaan yang telah mengakar turun temurun. Perubahan yang dilakukan mulai dari cara menangkap ikan dengan pengeboman menjadi pembuatan keramba tancap.



Kebiasaan lainnya yang juga berubah drastis pada masyarakat adalah kemampuan menghargai alam. Ditandai dengan kemauan untuk menanam dan menjaga mangrove. "Kalau tidak ada pelatihan dan penyuluhan, saya sama sekali tidak tahu apa itu mangrove. Saya juga tidak tahu bagaimana menanam rumput laut," kata Pengawas Koperasi Bungin Sikalangkah yang juga warga Pulau Renda Rasman.

Berkat kepedulian masyarakat, kini disekeliling pulau telah ditanam ribuan batang mangrove. Penanaman pertama dilakukan tahun 2006 sebanyak 16 ribu pohon dan dilanjutkan tahun 2007 sebanyak 20 ribu batang mangrove. "Agar jerih payah penanaman mangrove tidak sia-sia, masyarakat diberi ganjaran bila menebang atau merusak pohon. Ganjaran bisa berupa pengambilan barang-barang hingga penyitaan kapal," tambah Rasman lagi.

Berkat mangrove yang telah mulai tumbuh disekeliling pulau, ditambah peraturan yang kemudian menjadi kearifan lokal, kini masyarakat sudah bisa menikmati hasil dari mangrove yang mereka tanam. "Dengan adanya mangrove yang mulai tumbuh, masyarakat bisa mendapatkan rajungan dan bisa menangkap ikan dengan mudah. Itu juga menjadi tambahan mata pencarian bagi mereka," ujar dia.

Penanaman bibit mangrove di Pulau Renda bukan tanpa alasan. Pulau Renda yang dalam bahasa Bajo berarti pulau yang terapung dipilih karena pinggir pantai pulau ini menjadi tempat favorit bagi ikan-ikan untuk bertelur. "Itu salah satu alasan mengapa kita memilih Renda, Alasan lainnya adalah dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya yang terdekat, Renda adalah pulau paling tertinggal dibidang ekonomi," Kata Sekretaris DKP Kabupaten Muna La Djono.

Ditambahkan Djono, sejak adanya mangrove, rumput laut dan keramba tancap, masyarakat sama sekali tidak pernah lagi mencari ikan dengan bom ikan. Kearifan itu sesuai dengan tulisan yang bisa dilihat di gerbang pulau. Tulisan itu berbunyi tamakaya alah patanansta itu baka xasisibodangka pagai. Kasalaxatang ampohra tika kabala alah. Dalam bahasa Indonesia berarti kita pelihara lingkungan tempat tinggal kita dan sekitarnya, untuk keselamatan kampung kita dari bencana alam. (bernadette lilia nova)


Sabtu, 18 Oktober 2008

Minahasa Selatan



Pesona Air Hangat Pantai Moinit

Indonesia memiliki sumber daya alam nan memikat. Salah satu yang belum tersentuh adalah Pantai Moinit dengan mata air hangat di pantainya.

Menginjakkan kaki di Minahasa Selatan, suasana terasa benar-benar berbeda bila dibandingkan dengan Manado yang hanya berjarak 1,5 jam berkendara dengan menggunakan mobil. Di Manado proses pembangunan dikebut untuk menyongsong World Ocean Converence (WOC) Mei 2009 mendatang, termasuk dengan mereklamasi pantai dan membangun gedung-gedung baru yang membuat Manado memiliki wajah yang sangat modern.


Sedangkan Minahasa Selatan sebagai daerah baru, yang baru lima tahun menjadi kabupaten, kini juga sudah mulai sibuk dengan pembangunan sarana dan fasilitas untuk umum. Walaupun masih belum sebanyak di Manado, sarana umum yang bisa ditemui di jalan lintas Minahasa Selatan menuju Gorontalo terdapat tempat peristirahatan yang dibangun ala negeri-negeri barat yang modern.


Keunikan lainnya dari Minahasa Selatan adalah pemandangan alamnya yang indah. Hamparan bukit yang menghijau, lembah-lembah yang dalam juga pantai membuat Minahasa Selatan menjadi daerah yang memiliki sumberdaya yang lengkap. Mulai dari hasil pertanian, perikanan hingga pertambangan, daerah ini memilikinya.


Dari sekian banyak objek wisata di Minahasa Selatan, yang patut dijadikan referensi ketika berkunjung adalah keunikan Pantai Moinit. Dari pusat kota Minahasa Selatan, Amurang, dibutuhkan 15 menit perjalanan. Sesuai dengan namanya, Pantai Moinit terletak di Desa Moinit. Mendekati pantai ini, suasana semakin berbeda, karena pantai ini teduh dengan ditumbuhi pohon besar yang seakan menjadi penjaga pantai.


Dengan pasir halus dan pinggir pantai yang teduh, menjadikan Pantai Moinit banyak dikunjungi oleh wisatawn lokal apalagi pada hari-hari libur nasional. "Kita memiliki banyak sumber daya alam. Salah satu yang paling menarik adalah Pantai Moinit dengan mata air panas di pinggir pantai," kata Bupati Minahasa Selatan RM Luntuntungan.


Pantai Moinit, jika dilihat sepintas hampir sama dengan pantai-pantai lainnya di Indonesia. Hamparan air yang membiru, ombak yang saling berkejaran di pantai semua sama dengan pantai pada umumnya.


Namun jagan salah, di pantai ini, mengalir dari dalam bumi sebuah mata air hangat yang dianggap masyarakat berasal dari Gunung Soputan yang masih aktif. Untuk menemukan mata air hangat yang mengalir satu meter di bibir pantai tersebut tidak sulit. Karena 100 meter di depannya sudah di bangun tempat peristirahatan untuk pengunjung berupa pondok-pondok kecil.


Bagi pengunjung yang baru pertama kali datang, akan kesulitan menemukan mata air hangat yang mengalir bercampur dengan air laut tersebut. Karena untuk merasakan air hangat yang mengalir diantara ombak, kaki harus sedikit ditenggelamkan kedalam pasir karena mata airnya yang tertutup pasir. Jika telapak kaki telah menyibakkan sedikit lapisan pasir, air hangat akan mengalir deras dan semakin lama semakin panas.


"Pantai Mionit adalah salah satu pantai paling unik di Minahasa Selatan juga di Indonesia. Tidak ada pantai yang memiliki keunikan seperti di pantai ini," tambah Bupati yang juga musisi tersebut.
Untuk kedepannya, Rm Luntungan mengaku akan membangun berbagai sarana bagi kepentingan masyarakatnya. Karena menurutnya, Minahasa selatan memiliki kekayaan alam yang sangat kaya. "Tahun depan target kita pelabuhan internasional sudah rampung. Selain memudahkan masyarakat juga memberikan peluang kepada investor asing agar menanamkan modal di Minahasa Selatan," katanya.


Lebih lanjut ditambahkan RM Luntungan, objek wisata lainnya yang masih terus dikembangkan di Minahasa Selatan adalah areal pertanian seperti agro wisata dengan aneka tanaman seperti kentang, jagung dan stroberi. "Stroberi kita masih berusia tiga bulan. Target kita beberapa bulan mendatang kita akan panen sekaligus menjadikannya sebagai objek wisata," tutrnya. (bernadette lilia nova)

Utamakan Sarana Fisik

Selain hadir dengan pemandangan alam yang elok, dengan gunung, lembah dan laut, yang tidak kalah menarik di Minahasa Selatan adalah pembangunan fisik yang terus ditingkatkan. Salah satu sarana paling penting yang tengah dikebut adalah pembangunan tempat pengisian bahan bakar untuk masyarakat pesisir dan pembangunan sarana umum lainnya.


Hal tersebut cukup beralasan, karena masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan adalah pilar utama untuk menjaga kelangsungan dan kelestarian lingkungan laut. Selain itu bagi mereka laut adalah sumber penghidupan dan mata pencaharian. Agar memudahkan para nelayan mendapatkan bahan bakar, untuk kapal-kapal, Departemen Kelautan Dan Perikanan (DKP RI), meresmikan Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) di Desa Mobongo, Kelurahan Kawangkoan Bawah, Kecamatan Amurang Barat, yang diresmikan oleh Dirjen KP3K DKP RI Syamsul Ma'arif.


Bahkan dilokasi yang sama, tahun 2009 mendatang sebuah pelabuhan internasional akan diremikan. Sekarang masih dalam tahap pembangunan. "Dengan adanya pelabuhan internasional di Minahasa Selatan, masyarakat kita tidak usah lagi membawa hasil panen ke luar kota lewat jalur darat yang panjang," kata Bupati Minahasa Selatan RM Luntungan.


Pentingnya keberadaan SPDN di pesisir disambut hangat oleh para nelayan di sepanjang pantai Teluk Amurang. Karena selama ini, masyarakat baru bisa mendapatkan bahan bakar untuk kapalnya di Manado. "Dengan SPDN ini, masyarakat nelayan jadi lebih mudah mendapatkan bahan bakar. Dengan adanya SPDN ini saya yakin nelayan bisa meningkatkan hasil tangkapannya," kata masyarakat Desa Mobongo Kuswara Amandalu.


Antusias masyarakat pesisir di Desa Mobongo menyambut diresmikannya SPDN di desa mereka ditunjukkan pula dengan menggelar permainan musik bambu yang dikombinasikan dengan terompet berukuran besar yang di Betawi dinamakan Tanjidor. "Selain potensi alam, kita juga mengangkat kesenian tradisional sebagai salah satu unggulan di daerah ini," katanya. (bernadette lilia nova)

Minggu, 14 September 2008

Manado 1

Bunaken Tidak Sebesar Namanya

Terkenal dengan keasrian terumbu karang dan aneka biota laut, Bunaken tetap menjadi daya tarik wisatawan untuk diving ataupun snorkeling. Walau tidak lagi sebesar namanya.

Angin sepoi-sepoi bertiup ramah, membuat perjalanan di Manado, Sulawesi Utara terasa menyegarkan. Kubah-kubah bangunan ibadah yang berwarna gading, menjadi penambah keelokan kota yang terkenal dengan sebutan Tinutuan atau Kota yang terkenal dengan Bubur Manadonya tersebut.

Hamparan birunya air laut dari Teluk Manado yang masih terus direklamasi, membuat wajah Manado semakin cantik dengan bangunan serba modern yang terus dibangun di pinggir-pinggirnya. Tanah hasil reklamasi di Manado digunakan untuk membangun ruko, padahal seharusnya digunakan untuk sarana pariwisata, namun secara umum, Manado adalah kota yang cantik dengan pemandangan alam termasuk lautnya yang memikat. Namun mengunjungi Manado, belumlah lengkap jika belum datang dan menikmati pagi hari di Taman Laut Bunaken.


Dari pusat kota Manado, pengunjung harus menyeberang dengan menggunakan kapal bermotor.Dibutuhkan waktu lebih kurang 45 menit untuk sampai di kawasan yang semakin terkenal ke dunia internasional karena keberadaan ikan purba bernama Choelachant, yang telah hidup sejak 400 tahun lalu dan hanya bisa ditemui di kawasan laut ini. "Untuk sekarang ikan purba di Bunaken masih tersisa sekitar enam ekor saja. Kepurbaan seekor ikan ditandai dengan siripnya yang masih terdiri dari tulang," kata Kepala Seksi Rehabilitasi Ekosistem Laut DKP RI Sadarun.

Birunya laut dengan air yang nyaris tanpa gelombang berarti, membuat penyeberangan menuju Bunaken menjadi perjalanan yang menyenangkan. Apalagi jika menyeberang dilakukan pagi hari. Matahari yang masih malu-malu dengan sinarnya yang redup, membuat penyeberangan terasa nyaman dan menyenangkan.

Sebuah dermaga bertuliskan Taman Laut Bunaken lengkap dengan peta Pulau Bunaken menjadi penyambut para tamu yang datang. "Setiap bulan berapa jumlah wisatawan yang datang kita data. Bahkan untuk Mei tahun ini saja bisa mencapai 1.135 wisatawan," kata Manager Visitor Center Taman Laut Bunaken Yusuf Kasehung.
Tercatat Taman Laut Bunaken memang menjadi salah satu daerah konservasi andalan di Indonesia. Selain wisata bahari seperti diving dan snorkeling, Pengunjung juga bisa mendaki Gunung Manado Tua yang juga terdapat di kawasan taman," tambah Yusuf.


Bagi mereka pecinta diving, kawasan konservasi yang memiliki luas 89,65 ribu hektar termasuk laut ini, juga memiliki 48 spot diving atau titik-titik selam yang memiliki terumbu karang dan biota laut yang bervariasi. Sedangkan bagi pengunjung yang tidak ingin basah namun tetap ingin menikmati pemandangan bawah laut, tersedia pula sebuah kapal dengan kabin terbuat dari kaca, sehingga pengunjung tetap bisa menikmati pesona bawah laut tanpa susah payah menyelam atau snorkeling.

Lewat kapal impor dari Australia yang bernama Sapsi dengan kapasitas 32 penumpang tersebut, ikan-ikan hias dan terumbu karang bisa terlihat dengan jelas. Sehingga keindahan sekaligus kerusakan karang bisa terlihat dengan sangat jelas. Demikian pula ketika rombongan Dirjen Kelautan menaiki kapal dan memasuki buritan. Keindahan laut Bunaken yang terkenalpun segera terhampar di depan mata.

Selama 45 menit di dalam Sapsi, laut Bunaken memang terlihat. Namun sayang sekali terumbu karang di kawasan ini mulai banyak yang mati ditandai dengan karang-karang yang mulai memutih. "Penanganan secepatnya harus dilakukan. kalau tidak terumbu karang kita akan semakin hancur," kata Dirjen KP3K DKP RI Syamsul Ma'arif.


Langkah awal yang harus dilakukan menurut Syamsul Maarif adalah pendekatan dengan masyarakat agar bisa menjaga dan memelihara laut dan semua kekayaan di dalamnya. "Karang yang telah rusak sebenarnya bisa saja kita perbaiki dengan pencangkokan karang. Namun hingga kini masih tetap menjadi kontroversi," katanya.

Lebih lanjut ditambahkannya, setelah melihat terumbu karang selama 45 menit di Bunaken, jelas sekali kerusakan yang terjadi rata-rata disebabkan oleh kesalahan manusia selain virus yang menyerang karang yang dinamakan Virus Blecing. "Walaupun sudah ada yang rusak, namun masih banyak spot diving di Bunaken yang indah. Sebelum ikut rusak tugas pemerintah dan masyarakat adalah menjaganya," ujarnya. (bernadette lilia nova)

foto by Bernadette Lilia Nova

Manado 2

Gugah Kesadaran Lewat Konferensi

Sebagai negeri bahari terbesar di dunia, sudah saatnyalah Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga dan melindungi kekayaan bahari yang dimilikinya. Pemeliharaan itu bisa saja dilakukan dengan membuat kebijakan tentang laut. Misalnya kebijakan yang berfungsi untuk melindungi kekayaan yang dimiliki atau mengeluarkan peraturan untuk melindungi sumber daya tersebut.


Salah satu cara melindungi laut dan kekayaan di dalamnya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP RI), menggelar Konferensi Nasional (Konas VI) tentang Pesisir dan lautan 26-29 Agustus di Manado, Sulawesi Utara. Konferensi yang diikuti oleh 500 peserta tersebut sekaligus menjadi ajang promosi dan pembelajaran bagi masyarakat Manado, karena dalam konferensi tersebut juga digelar Pameran Sumber Daya Laut dari 15 propinsi di Indonesia.

"Yang bertanggung jawab pertama kali terhadap laut di negeri kita adalah kita sendiri. Tidak mungkin orang luar dulu yang membantu jika laut kita mengalami kerusakan," kata Menteri Kelautan dan Perikanan RI Fredy Numberi.
Dalam Pameran Sumber Daya Laut Indonesia tersebut, setiap propinsi menampilkan produk unggulan laut dari daerahnya masing-masing. Seperti peserta dari Propinsi Sulawesi Selatan. Propinsi ini menampilkan tiga kabupaten yaitu, Maros, Takalar dan Kabupaten Pangkep dengan hasil laut seperti rumput laut, kepiting dan kesuksesan menanam 4.500 mangrove di pantai-pantainya, untuk menjaga agar pantai tidak mengalami abrasi dan menjadi tempat biota laut bersarang. "Sulawesi Selatan memiliki laut yang luas. Selain menjadi objek wisata, laut harus bisa dimanfaatkan dengan maksimal," kata Teknisi Pusat Informasi Spasial Propinsi Sulawesi Selatan Zulkarnain.
Selain mengikuti pameran-pemeran kelautan berkelas nasional demi menyadarkan masyarakat tentang pentingnya laut, Pusat Informasi Spasial Propinsi Sulawesi Selatan (PISP), menurut Zulkaenain juga berfungsi sebagai pusat data kelautan yang bisa diakses oleh masyarakat luas. "Intinya kita mengembangkan data tantang sumber daya laut untuk memudahkan masyarakat mengembagkan hasil laut yang telah diperolehnya," ujar Zulkarnain.
Dalam pameran kelautan tersebut, Sulawesi Selatan juga menampilkan berbagai cara pengembangan mata pencaharian alternatif seperti cara penggemukan kepiting bakau, bagaimana mengelola keramba apung yang baik dan bisa menghasilkan hasil yang maksimal dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat bagaimana mengelola hasil panen dengan baik dan benar. (bernadette lilia nova)

Senin, 18 Agustus 2008

Senja Di Pantai Lasiana


Menyajikan pesona semburat matahari kemerahan di ufuk Barat, membuat Pantai Lasiana menjadi pantai paling favorit di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).


Setelah seharian mengelilingi Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan matahari yang mulai tergelincir ke ufuk Barat, duduk dan menikmati keindahan pantai dan laut senja hari dengan semburat warna merah menjadi salah satu alternatif terbaik yang juga banyak dipilih oleh turis lokal ketika datang dan berkunjung ke daerah berpenduduk empat juta jiwa lebih ini.

Pantai favorit di Kupang itu bernama Pantai Lasiana, yang berjarak lebih kurang 11 kilometer dari arah Timur Kota Kupang. Untuk sampai di lokasi, jalanan yang dilalui akan sedikit berliku, namun keadaan itu akan segera terlupakan, ketika dari kejauhan birunya air laut yang membentang dan sesekali terlihat dari jalan raya, membuat semua rasa lelah hilang.

Semakin mendekati pantai, pengunjung akan melewati puluhan pohon lontar yang tengah berbuah. Masyarakat Kupang seperti juga masyarakat Pulau Rote sangat menghormati keberadaan pohon ini, dan pohon itu dianggap sebagai pohon kehidupan, karena dari daun, batang hingga akarnya bisa digunakan untuk membantu kehidupan masyarakat, itulah yang membuat pohon ini sangat dihormati.


Mendekati pantai, debur ombak akan terdengar, ombak itu pulalah yang membuat Pantai Lasiana mengalami abrasi. Jika dulu di awal tahun 1980-an Pantai Lasiana banyak dikunjungi turis asing dari Jerman, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Sekarang, Pantai Lasiana hanya dikunjungi oleh turis lokal dan sesekali saja terlihat turis asing terlihat duduk menikmati senja di Lasiana. Itu semua karena pantai yang semakin sempit dan pasir yang semakin hilang tergerus arus.

Walaupun mengalami abrasi, namun Pantai Lasiana tetap hadir dengan pemandangan yang memikat, apalagi jika memandang jauh ke batas ufuk. Pantai dengan pasir putih tersebut menyuguhkan pemandangan yang benar-benar menakjubkan. Matahari berwarna kemerahan yang perlahan turun dan tenggelam di batas ufuk, tetap mampu memikat banyak orang untuk mampir dan menikmati keindahan itu. “Dulu Pantai Lasiana jauh lebih cantik dari pada sekarang. Walaupun demikian, yang membuat Lasiana unggul adalah mataharinya yang benar-benar hadir setiap senja di pantai ini,” kata salah satu warga sekitar pantai Frans Tano.

Selain menyaksikan matahari tenggelam dengan semua kemegahannya, Pantai Lasiana juga menyimpan pesona tersendiri. Permukaan pasirnya yang datar dengan kemiringan hanya sekitar 5 -10 persen, sangat cocok untuk bermain sepakbola pantai. Pasirnya putih bersih dan bercahaya ketika tertimpa cahaya matahari yang kemerahan.


Keunikan lainnya dari Pantai Lasiana adalah dasar lautnya yang berpasir, bukan lumpur, sebagaimana kebanyakan pantai di Pulau Timor. Sehingga airnya selalu jernih. Inilah yang membuat wisatawan paling suka mandi dan berenang di pantai ini.

Sebenarnya, jika pemerintah daerah cukup serius ingin kembali menjadikan Pantai Lasiana sebagai kawasan wisata yang sanggup mendatangkan devisa, aktivitas iris tuak oleh warga suku Rote dengan pohon lontar bisa dicontoh dan coba dikembangkan di Lasiana. Jadi selain keindahan matahari tenggelam, aktivitas di objek wisata juga menjadi daya tarik bagi turis agar datang. (bernadette lilia nova)
foto : bernadette lilia nova

Kidung Cinta Perajin Sasandu

Anak Timur bermain sasandu dan menari olelebo rasa girang, oo.. Lobamora tanah airku tercinta. Kidung yang bercerita tentang kegembiraan anak-anak Timur dan kecintaan pada tanah kelahiran mereka, itulah yang menyambut kedatangan kami ketika mengunjungi perajin alat musik tradisional di Desa Oebelo, Pluti, Kupang Tengah. Iringan kidung dan denting senar alat musik sasandu yang telah dibuat sejak abad ke 17 tersebut membuat suasana terasa semakin menyenangkan.
Sang perajin sasandu, Yermias A Pah (83), menyambut dengan senyum ramah dan mengajak menyaksikan proses pembuatan sasandu di samping art shop miliknya. Dibutuhkan daun lontar, bambu dan senar untuk bisa membuat sasandu hingga menjadi alat musik yang unik," kata Yermias sambil mempraktekkan proses pembuatan alat musik tersebut.

Proses awal menurut Yermias, daun lontar dijemur selama tiga jam, setelah itu baru dirangkai melengkung. Setelah lengkunngan lontar rampung, tabung bambu yang telah dilengkapi dengan 11 senar dipasangkan. "Senar pada sasandu ditemukan oleh Lungilain dan Baloamin dari Pulau Rote abad 17. Sejak itulah sasandu dimainkan," kata Yermias.

Seiring dengan perkembangannya, sasandu menurut perajin sekaligus seniman sasandu yang pernah diundang ke istana negara oleh Presiden SBY, mengatakan bahwa sasandu, memiliki kidung tersendiri yaitu kidung cinta dan kidung kematian Kidung cinta yang biasa dilantunkan berjudul Batu Matia. "Batu Matia memiliki makna cinta yang sekokoh batu karang, sehingga tidak mudah terpisahkan," katanya.

Kidung Cinta Batu Matia juga dijadikan sebagai pengiring ketika sepasang kekasih tengah duduk dipelaminan dan selalu diiringi dengan petikan-petikan merdu sasandu kebanggaan NTT yang juga kebanggaan Indonesia, karena itu, mengunjungi Kupang belum lengkap rasanya jika belum menikmati petikan sasandu yang mendendangkan kidung cinta langsung dari vokal senimannya.

Selain memanjakan pengunjung yang ingin menyaksikan langsung proses pembuatan sasandu, Yermias juga membuat aneka kerajinan tangan lainnya bersama tiga karyawannya. Bahkan sasandu yang biasanya sulit dibawa karena ukurannya yang besar, di tangan Yermias bisa menjadi mudah. Jika sasandu ingin dibawa keluar pulau atau luar negeri, Yermias membuat sasandu yang daun lontarnya bisa dilipat. Sehingga tidak rusak ketika sampai di lokasi.

“Kita juga membuat sasandu ukuran kecil untuk gantungan kunci. Sansandu ukuran ini telah dipesan ribuan mulai dari souvenir perkawinan hingga buah tangan biasa,” katanya. Jadi mengunjungi Kupang, menikmati kidung cinta sasandu akan membuat banyak orang tidak bisa lupa daerah ini. (bernadette lilia nova)

Pesona Air Terjun Oenesu

Bagi masyarakat kota yang selalu tenggelam dalam suasana kerja dan semakin jenuh dengan lalu lintas yang serba sibuk, bisa menikmati keindahan alam dan sesekali menyendiri dikeheningan alam. Salah satu objek wisata yang bisa dijadikan rujukan untuk menikmati suara alam jika berkunjung ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah Air Terjun Oenesu yang terletak di Desa Oenesu, Kecamatan Kupang Barat.

Air terjun ini merupakan salah satu tujuan wisata utama yang selalu ramai dikunjungi, baik wisatawan lokal maupun mancanegara dihari-hari libur nasional. Bahkan pada hari Minggu, air terjun bertingkat empat ini bisa dikunjungi lebih dari seribu pengunjung.

Memiliki lokasi seluas 0,7 hektar, dan berjarak lebih kurang 17 kilometer dari pusat kota Kupang, Air Terjun Oenesu memiliki pesona yang tidak akan terlupakan. Bagaimana tidak, untuk bisa tepat berada di bawah air terjun bertingkat empat tersebut, pengunjung akan melewati sebuah jembatan kayu yang membentang melintasi sungai tempat Air Terjun Bermula.

Agak menakutkan memang ketika melintasi jembatan ini, karena dibuat dari dua batang pohon lontar melintang. Diatasnya dipakukan lembaran-lembaran kayu yang sama sebagai pijakan. Kondisinya yang sedikit miring membuat banyak pengunjung lebih memilih untuk melewati jalan setapak dengan tangga permanent dari semen yang telah di bangun di samping air terjun, walaupun perjalanan menjadi lebih jauh.

Gemuruh suara air dari ketinggian, semakin terdengar jelas diantara kesunyian suasana lokasi air terjun. Bagi mereka yang khusus datang untuk menikmati suara air dan sesekali terdengar suara burung berkicau, objek wisata ini lebih baik dikunjungi pada hari-hari biasa, karena lebih sepi dan tentu saja bisa berlama-lama di tempat ini.


Selain bertingkat empat, Air Terjun Oenesu yang airnya bermuara hingga ke laut di daerah Batu Lesa ini, memiliki keunikan lainnya. Air terjun ini memiliki dinding karang yang berlubang seperti gua. Kondisi dinding air terjun yang berlubang banyak digunakan oleh wisatawan untuk berfoto sambil menikmati kesegaran air.
Untuk mendekati air terjun, pengunjung sebaiknya menggunakan alas kaki, karena keunikan lain dari Oenesu adalah air terjun ini memiliki karang seperti karang laut yang tajam. “Banyak legenda yang beredar di masyarakat kalau Air Terjun Oenesu berawal dari kisah seorang nenek dengan cucu. Mereka memiliki lesung, dan lesung itulah yang berubah menjadi air terjun,” kata salah satu Petugas di Air Terjun Oenesu Apeles Bangkoles.

Jika datang ke lokasi air terjun pagi hari, air yang mengalir di dinding air terjun tidak sebanyak ketika datang di soren hari. Pada sore hari, seluruh dinding air terjun akan tertutupi oleh air. “Entah apa penyebabnya, namun air terjun ini selalu memiliki air yang lebih banyak di sore hari dibandingkan pagi hari,” tambah Apelles.

Pada musim hujan sekalipun obyek ini masih tetap dapat dijangkau dengan mudah, karena jalannya tidak berlumpur atau becek. Semua kendaraan dapat langsung berhenti persis di samping lokasi air terjun. Bahkan untuk menjaring lebih banyak pengunjung objek wisata ini telah dibenahi dengan sarana seperti, rumah makan, MCK, jalan setapak dan tempat parkir. (bernadette lilia nova)

Sabtu, 09 Agustus 2008

Berlayar Di Negeri Pelaut I

Sail Indonesia 2008

Diikuti oleh 120 kapal layar dari 15 negara, Sail Indonesia 2008 berlayar dari Darwin, Australia untuk mengunjungi 12 daerah di nusantara.

Matahari bersinar cerah, angin yang ramah bertiup semilir di sepanjang Pantai Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Keceriaan suasana sepanjang garis pantai dengan nelayan yang sibuk membersihkan perahu dan memunguti ikan-ikan hasil tangkapan semakin terasa dengan puluhan umbul-umbul dan spanduk aneka warna. Keceriaan itu semakin bertambah dengan teriakan dan tawa lepas anak-anak yang tengah bermain bola di pantai berpasir atau berenang, bercanda dengan ombak.


Pantai Kupang atau masyarakat setempat menyebutnya dengan Pantai Laut, siang itu semakin semarak dengan kedatangan 120 kapal layar dari Darwin, Australia yang membawa lebih kurang 300 pelaut yang tergabung dalam acara bertema Sail Indonesia 2008 ke 8.


Kapal-kapal layar bertiang tinggi yang membuang sauh 200 meter dari pinggir pantai menjadi tontonan menarik bagi warga. Mereka berduyun-duyun datang ke pinggir pantai untuk menyaksikan kedatangan kapal-kapal mahal seharga lebih dari delapan milyar tersebut.


Sail Indonesia 2008 yang berlangsung atas kerjasama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Debudpar RI) dan Yayasan Cinta Bahari tersebut rencananya akan mengunjungi 12 white point atau titik-titik bersandar seperti, Kupang sebagai titik sandar pertama, Alur, Lembata, Ende, Labuan Bajo, Mataram, Bali, Makassar, Karimun Jawa, Kumai, Belitung dan terakhir adalah Batam.


Keramahan masyarakat Kupang menyambut para tamu yang datang mengunjungi daerah mereka ditunjukkan dengan menggelar acara penyambutan khusus bertajuk Festival Pantai Kupang ke tiga yang dilangsungkan di pinggir pantai, berhadapan langsung dengan kapal-kapal layar yang tengah bersandar. Sebuah panggung, menjadi pusat kemeriahan festival, menggelar berbagai kegiatan seni, musik dan tari tradisional.


"Dengan adanya Sail Indonesia ke 8 ini, kita berharap masyarakat lebih terbuka untuk menerima kujungan wisatawan mancanegara dengan ramah dan lebih menjaga kebersihan pantai," kata Walikota Kupang Daniel Adow.


Kedatangan para pelayar dari 15 negara ke Kupang menurut Daniel cukup memberikan nilai tambah bagi Kota Kupang, karena bisa mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara ke Kupang, kota yang dijuluki dengan Kota Kasih.


Kemeriahan Sail Indonesia 2008 ternyata tidak saja memberikan keceriaan bagi masyarakat di pinggir pantai. Namun juga memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat yang membuka stan-stan kerajinan tangan. Mulai dari kaligrafi, asesoris unik seperti kalung berliontin komodo kecil, hingga topeng-topeng hias bisa dibeli di lokasi yang sama. "Memang setiap kali Sail Indonesia dilangsungkan, pelayar yang datang biasanya datang ke hotel saya," kata pemilik Eddy Hotel di Pantai Kupang Teddy Tanonef.


Tercatat Sail Indonesia 2008, bertujuan untuk mengenalkan wisata bahari Indonesia dimata dunia internasional dan para pelaut sekaligus bisa memetakan titik-titik aman dan strategis di Indonesia, yang bisa dijadikan tempat berlabuh, jika berlayar di Samudra Indonesia. "Dibandingkan Malaysia dan Singapura, regulasi pelayaran Indonesialah yang paling rumit," kata Dewan Pengurus Yayasan Cinta Bahari Raymond T Lesmana.


Ditambahkan Raymond, walaupun Indonesia memiliki laut terluas, namun belum ada satupun titik-titik sandar kapal yang bisa disinggahi oleh perahu-perahu berkelas internasional, karena kurangnya informasi yang didapat. "Dengan adanya Sail Indonesia 2008 ini, kita yakin informasi tentang titik singgah atau white point akan tersebar di dunia internasional. Sehingga kapal-kapal dari berbagai dunia bisa datang langsung ke Kupang," tambah Raymond.


Diterangkan Raymond, syarat-syarat sebuah daerah bisa dijadikan sebagai titik singgah kapal adalah bisa menyediakan semua kebutuhan pelaut dengan kapal layarnya. Mulai dari kondisi laut, kemampuan menyediakan suplay dan kebutuhan pelayar, hingga SDM suatu daerah. "Ini pelaut baru turun dari kapal saja sudah dikenakan berbagai macam aturan. Bahkan untuk meminta paspor mereka kembali, dikenai dana dengan harga bervariasi, mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 130 ribu. Bagaimana wisata di negeri ini bisa maju dan berkembang," kata Raymond. (bernadette lilia nova)

Berlayar Di Negeri Pelaut II


Tanpa Pelaut Indonesia

Sail Indonesia 2008 telah digelar. Dimulai dari Darwin, Australia dan mengunjungi 12 white point atau titik labuh yang terletak di Indonesia, namun sebagai negara maritim terbesar di dunia dan mengaku mempunyai nenek moyang seorang pelaut, ternyata di ivent berskala internasional tersebut tidak satupun kapal layar itu berasal dari negara tuan rumah.

Sebagai negara yang lautnya dikenal sebagai perairan yang paling memikat di dunia, Sail Indonesia 2008, ternyata hanya bisa diikuti oleh pelaut-pelaut dari Australia, Jepang, Amerika, Jerman, Belanda, Belgia dan negala lainnya. "Kecintaan pada dunia bahari sudah mulai luntur pada masyarakat kita. Mereka lebih suka membeli jaguar baru dari pada membeli kapal layar," Kata Dewan Pengurus Yayasan Cinta Bahari Raymond T Lesmana.


Banyak cara menurut Raymond untuk membuat masyarakat Indonesia kembali bangkit rasa cintanya pada dunia maritim. Mulai dari memberikan anak-anak pantai kacamata renang, memberikan mereka alat untuk snorkeling. "Setelah mereka tahu keindahan bawah laut dan tahu tentang laut, saya yakin kecintaannya pada laut akan semakin tinggi," kata dia.


Pemerintah juga menurut pria yang menjadi tempat berkeluh kesah para peserta Sail Indonesia 2008 ini, seharusnya memberikan kemudahan agar tidak menganggu kenyamanan para pelaut yang ingin mampir dan melabuhkan jangkar di Kupang. "Banyak sekali yang harus kita bereskan, Mulai dari regulasi peraturan kelautan hingga banyaknya pungutan-pungutan liar yang terjadi di lapangan," tambah pria paro baya tersebut.


Walaupun masih banyak yang harus dibenahi di Perairan Indonesia, namun para pelaut yang datang tetap merasa bersemangat dan bisa menikmati keindahan dan keramahan masyarakat Kupang. Keramahan itu juga ditandai dengan mengalungkan selempang berupa kain tenun tradisional kepada pelaut yang pertama datang dan menghelat gala dinner di Kantor Gubernur Kupang.


Kemeriahan Sail Indonesia 2008 semakin terasa dengan pesta rakyat yang digelar ditepi pantai, mulai dari panjat pinang hingga lomba dayung perahu yang diikuti tidak saja oleh kaum pria, namun juga diikuti oleh ibu-ibu nelayan yang mendayung dengan tawa dan semangat empat lima.


“Kita orang senang sekali bisa mengikuti acara ini, tapi sayang sekali kali ini desa kami di Ende belum bisa menang. Semoga tahun depan kami bisa menang dalam lomba dayung yang sama,” kata salah satu peserta lomba dayung Abraham S Koro. (bernadette lilia nova)

Berlayar Di Negeri Pelaut III

Disambut Tarian Gadis Rote

Irama musik yang ceria, gemulai gadis-gadis berbusana tradisional dengan motif tenun yang cantik, menjadi pemandangan menarik yang tidak bisa dilewatkan oleh wisatawan mancanegara ataupun wisatawan lokal. Selain menari diiringi oleh irama musik, debur ombak yang mengempas pasir juga menambah meriah suasana.

Enam remaja yang menari di atas panggung, ternyata menarikan tarian selamat datang khusus untuk para tamu yang datang. Enam penari putri tersebut tergabung dalam Sanggar Tari Bolele Bo dari Namosae, Pulau Rote.

Tarian selamat datang yang mereka bawakan dengan gerak yang gemulai, ternyata dulunya ditarikan khusus untuk menyambut para prajurit yang pulang dari medan perang. Dengan tarian selamat datang yang juga berjudul Bolele Bo tersebut diharapkan para prajurit kembali merasa gembira karena telah pulang dengan selamat.

"Kita sering tampil diacara-acara penyambutan tamu kenegaraan, selain itu kita juga tampil di acara dengan banyak pengunjung seperti di festival," kata koreografer Tarian Selamat Datang Bolele Bo Novi Nubatonis.


Jika dulunya tarian selamat datang dilangsungkan untuk menyambut para prajurit yang pulang dari medan laga, sekarang seiring perkembangan zaman tarian perang bisa ditampilkan dalam berbagai kesempatan. Bahkan mengalami modifikasi yang disesuaikan dengan keadaan sekarang yang damai dan tanpa pertempuran.


Kecantikan gadis-gadis dari Pulau Rote yang terkenal dengan legenda nenek dan cucunya tersebut semakin memikat dengan asesoris tradisional yang mereka kenakan. Sebuah tiara kuning emas menjadi penghias kepala dan gelang-gelang tradisional menghasilkan suara gemerincing membuat tarian yang mereka bawakan semakin memikat.


Berbagai jenis tarian tradisional selalu menjadi tari penyambutan tamu oleh masyrakat Rote, diantaranya Tarian Kakamusu, Teorenda, Taebenu, Teotona, Lendondao dan Kebelai. “Kain tenun yang dikenakan dalam tarian selamat datang tradisional Rote melambangkan tingginya martabat dan harga diri masyarakat Rote,” kata Novi Nubatonis.


Hal tersebut memang beralasan, karena di Rote sendiri, kain tenun ikat memiliki ciri khas dan motif yang berbeda dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Kupang. Kain tenun ikat ala Rote memiliki motif garis-garis lurus yang selalu diselingi oleh motif siku. Sedangkan warna dari tenun ikat Rote selalu mengombinasikan tiga warna utama, hitam, putih dan merah. “Dengan kain tradisional seperti itulah tamu kita sambut, maksudnya agar saling menghormati dan menghargai,” tambah Novi lagi. (bernadette lilia nova)

Selasa, 05 Agustus 2008

Lombokpun Punya Kuta

Selama ini orang mengenal Pantai Kuta ada di Bali. Padahal, Pantai Kuta di Lombok memiliki pasir putih yang berasal dari butiran karang tempat Nyale bersarang.

Menikmati pesona pantai dengan lautnya yang menghampar biru sejauh mata memandang, tentu saja menjadi impian setiap orang. Salah satu tempat yang menawarkan keindahan dan pesona alam yang memukau bisa ditemukan di Pantai Kuta, yang terletak di Desa Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Untuk mencapai Pantai Kuta Lombok, dari Senggigi memakan waktu sekitar 2,5 jam. Perjalanan yang cukup jauh akan terbayar ketika melihat keindahan alam yang masih asli. Memang tidak banyak wisatawan mancanegara ataupun wisatawan lokal datang ke tempat ini.
Selain memanjakan pengunjung dengan beningnya air, pantai ini memiliki bukit-bukit yang menjadikannya semakin menarik. Selain itu pantai datar ini, memiliki pasir yang unik. Pasir di pantai ini berbentuk butiran-butiran seperti merica, sehingga nyaman diinjak dan dianggap baik untuk membantu sirkulasi darah, apalagi jika diinjak dengan kaki telanjang.

Keindahan Pantai Kuta Lombok dengan pasir putihnya yang seperti butiran merica, ternyata memiliki sejarah dan ceritanya sendiri. Pantai yang belum banyak dikunjungi turis jika dibandingkan dengan Pantai Kuta di Bali ini adalah salah satu pantai yang menjadi pusat berkumpulnya Nyale atau cacing laut sekali setahun dan dirayakan dengan Festival Bau Nyale atau mencari Nyale.

Nyale-nyale yang berjumlah milyaran tersebut, membangun sarang di karang-karang berwarna putih dan tidak terlalu keras. Untuk membangun sarang, nyale-nyale melubangi karang. Hasil galian karang menjadi butiran-butiran pasir yang dihanyutkan ombak dan gelombang ke pinggir pantai. Peristiwa yang berlangsung sejak ribuan tahun lalu itu terjadi terus menerus, sehingga tumpukan butiran pasir menjadi pasir yang hanya bisa ditemukan di Pantai Kuta Lombok. “Yang membuat Pantai Kuta Lombok unik dan menarik adalah karena pasirnya yang seperti merica. Selain itu pantai ini juga masih sangat asri,” kata Kadin Disbudpar Propinsi NTB GP Supartha.

Selain unik dengan pasir di pantainya, pantai ini juga terhubung dengan kisah putri kerajaan yang bernama Putri Mandalika. Karena bingung memilih calon suami, akhirnya sang putri menenggelamkan diri ke laut. Sebelum menenggelamkan diri Putri Mandalika berjanji akan kembali satu kali dalam satu tahun dalam wujud yang lain. Dan kenangan akan Putri Mandalika dirayakan dengan Festival Bau Nyale. “Jika dikelola dengan baik, Pantai Kuta Lombok bisa menjadi pantai yang sangat terkenal, dan kita akan mewujudkan itu,” kata GP Supartha.

Berjalan-jalan di Pantai Kuta Lombok, semakin menarik, karena jika pengunjung ingin menyentuh air laut atau berjalan kaki di dalam air, pantai ini cukup dangkal untuk dilalui bahkan hingga agak ke tengah, kedalaman air hanya sebetis saja. Walaupun tidak seramai Pantai Kuta di Bali, namun pedagang cendera mata dan aneka souvenir di pantai ini bisa ditemukan dengan mudah. Karena rata-rata yang berjualan souvenir adalah anak-anak dan terkadang sedikit memaksa agar kita membeli dagangan mereka. (bernadette lilia nova)

Filosofi Guci Maling

Tentu saja belum lengkap rasanya, jika mengunjungi Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), jika belum datang dan menyaksikan langsung proses pembuatan gerabah di Desa Banyumulek di Lombok Barat. Untuk mencapai desa yang dihuni lebih kurang 500 kepala keluarga ini bisa menggunakan angkutan darat lebih kurang 20 hingga 30 menit dari Mataram.

Memasuki desa Banyumulek, kesibukan warga membuat gerabah terlihat dihampir semua rumah. Demikian pula dengan jalan-jalan di sepanjang desa, dipenuhi oleh tumpukan tanah liat yang dijemur. Agar tanah liat lebih cepat kering dan tidak membutuhkan tenaga yang besar untuk menghancurkannya, tanah liat dijemur di tengah jalan. Semakin banyak kendaraan, semakin banyak digilas mobil atau motor, semakin mudah pengrajin menghaluskan tanah liat yang kering.

Untuk mendapatkan sebuah guci atau gerabah yang cantik, dibutuhkan proses yang panjang. Setelah dijemur, tanah liat dihaluskan. Setelah halus, dicampur dengan pasir sungai agar gerabah yang dihasilkan lebih kuat dan tahan lama. "Untuk mendapatkan keramik dari awal proses hingga siap dipasarkan dibutuhkan 20 hari," kata pemandu kami Hari.
Setelah semua bahan tersedia, barulah para wanita yang kebanyakan ibu rumah tangga membuat berbagai jenis kerajinan tembikar. Uniknya di desa ini pekerjaan laki-laki dan perempuan berbeda. Para wanita khusus membuat keramik menjadi guci ataupun kendi atau berbagai model lainnya sesuai pesanan. Sedangkan kaum pria mengukir, menghaluskan dan memasarkan.

"Mungkin karena wanita lebih telaten, makanya pekerjaannya adalah mengolah tanah liat menjadi gerabah yang cantik. Proses pembakaran, sekarang dilakukan bersama," tambah Hari lagi.

Dari ratusan model dan bentuk gerabah yang dihasilkan di Banyumulek, sebuah kendi bernama Kendi Maling menjadi favorit warga dan wisatawan. Kendi Maling ini cukup unik karena untuk memasukkan air ke dalam kendi haruslah dari bagian belakang. Proses terciptanya kendi tersebut karena merujuk pada filosofi maling yang masuk ke rumah lewat pintu belakang. "Setelah air dimasukkan, guci dimiringkan perlahan. Itu juga filosofi maling yang masuk diam-diam. Setelah guci berdiri, air di dalamnya sudah bisa diminum," katanya.


Selain guci maling, menyaksikan proses pembakaran tembikar juga sangat menarik. Untuk satu kali pembakara dibutuhkan waktu dua jam agar hasilnya benar-benar sempurna. Proses pembakaran di desa ini juga masih menggunakan cara tradisional, yaitu dengan menggunakan kayu bakar dan timbunan jerami. "Satu tempat pembakaran dikelola oleh sepuluh kelompok. Proses pembakarannya dilakukan bergotong royong," tutur Hari.
Tercatat dari Desa Banyumulek kemudian kerajinan gerabah yang dihasilkan dipasarkan ke Bali. Selain Bali, hasil kerajinan tangan turun temurun tersebut juga di ekspor keberbagai negara. Diantaranya, Australia, Jepang dan German. "Masyarakat Banyu Mulek sudah memiliki koperasi yang menampung hasil kerja mereka bila tidak ada order. Namun yang bisa masuk koperasi adalah gerabah yang bermutu," terang Hari. (bernadette lilia nova)
foto-foto by bernadette lilia nova

Kerukunan Beragama Pura Lingsar

Di Jakarta simbol kerukunan beragama bisa ditemukan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Kerukunan beragama juga bisa dilihat diantara Istiqlal dengan Katedral Jakarta yang terletak berhadap-hadapan. Kerukunan beragama ternyata sudah dilakukan masyarakat Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Buktinya bisa dilihat di Pura Lingsar yang terletak di Desa Lingsar, Lombok Barat.

Pura Lingsar adalah pura tertua di Lombok, yang dibangun 1759 lalu oleh Raja Kerajaan Karangasem, Anak Agung Ngurah. Untuk memasuki pura yang menjadi simbul kerukunan dua agama, Islam Sasak dan Hindu Bali ini, pengunjung harus melewati dua gerbang utama. Gerbang berukir dengan patung barong yang menjadi pengawal, memiliki anak tangga yang unik. Jika hendak masuk, anak tangga di gerbang puri berjumlah tiga. Sedangkan anak tangga dibagian dalam berjumlah lima.

Jumlah anak tangga tersebut ternyata memiliki cerita tersendiri, dulunya masyarakat Islam Sasak mayoritas meyakini Islam waktu telu (shalat hanya tiga kali sehari), namun seiring banyaknya ulama yang masuk ke Lombok, Islam waktu telu mulai bergeser menjadi menjalankan shalat lima kali sehari. Itu dilambangkan dengan tangga dibagian dalam gerbang menuju pura utama.

Di dalam pura ini terdapat dua bangunan utama, dibagian tanah yang paling tinggi, dibangunlah puri untuk Hindu sedangkan disampingnya berdiri pula bangunan untuk Islam. Sedangkan di taman bagian bawah pada waktu purnama para peziarah melakukan pesta perang-perangan saling melempar ketupat antara Hindu dan Islam, atau terkenal dengan perang kupat.

“Pura hanya ada di Lombok Barat, itu karena Lombok pernah kalah perang dengan Bali. Daerah pertama yang takluk itu adalah Lombok Barat, akhirnya dibagian baratlah pura bisa ditemukan,” kata penduduk setempat yang juga merangkap sebagai pemandu Sahyan.

Jika para pengunjung beruntung, mereka bisa melihat langsung penganut Islam berdoa atau mengadakan upacara syukuran. Sedangkan bagi mereka yang menyukai memancing, pura ini juga menyediakan sebuah kolam yang merupakan miniatur danau di Gunung Rinjani dengan sembilan pancuran disampingnya. “Ada pula kolam kemali atau kolam keramat yang berisi sejenis moa atau belut berkuping dengan panjang 1,5 meter. Jika melihat ikan tersebut, semua permintaan akan terkabul,” terang Sahyan lagi.

Ditambahkan Sahyan, tidak semua orang beruntung bisa melihat ikan yang ada di dalam kolam. Bahkan di lokasi yang sama disediakan pula telur rebus untuk dimasukkan ke dalam kolam untuk memancing agar ikan tersebut keluar dan menampakkan wujudnya. “Pernah ada yang melihat ikan tersebut, beberapa minggu kemudian langsung mendapatkan istri,” kata dia.

Bagi pengunjung yang tidak ingin membeli telur rebus, bisa pula melemparkan koin dan memohon apapun di depan kolam. “Jika koin tersebut masuk ke dalam kolam berarti permintaannya akan terkabul,” ungkapnya. (bernadette lilia nova)

Jumat, 01 Agustus 2008

Semarak Festival Senggigi 2008 I

Selain menyajikan atraksi budaya yang memikat, Festival Senggigi 2008 menjadi salah satu pemikat turis untuk datang ke Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Jarum jam tepat menunjukkan angka 09.00 di Lombok, ketika rombongan dari Departemen Pariwisata dan Kebudayaan Direktorat Promosi Dalam Negeri (Debudpar), menginjakkan kaki di Bandar Udara Selaparang. Nuansa budaya terasa kental, apalagi ketika berada di jalan-jalan dalam kota, suasana tradisi dari rumah tradisional dengan atap melengkung menjadi penghias utama sepanjang jalan yang dilalui.


Suasana semarak semakin terasa, apalagi ketika ratusan masyarakat propinsi yang dikenal dengan kota seribu masjid tersebut menghadiri Festival Senggigi 2008 yang dilangsungkan disepanjang Jalan Raya Senggingi. Dalam rangka menyemarakkan program Visit Indonesia 2008, dimana Pulau Lombok terpilih menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia.

Angin laut yang bertiup semilir, deru ombak dan matahari yang bersahabat, mengiringi dibukanya Festival Senggigi 2008 dengan tema Lombok The Island of a Culture oleh Dirjen Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, Dr Sapta Nirwandar yang ditandai dengan pemukulan kentongan.

Antusiasme masyarakat Lombok dan kecintaan terhadap tradisi, ditunjukkan dengan memadati trotoar-trotoar jalan di sepanjang Pantai Senggigi yang semakin memesona dengan birunya laut yang menghampar sejauh mata memandang.


Festival yang diikuti oleh 15 kecamatan di Lombok ini, juga mendapat antusias dari ratusan wisatawan mancanegara yang bergabung bersama masyarakat Lombok untuk memeriahkan perhelatan tahunan tersebut.

Antusiasme wisatawan mancanegara juga ditandai dengan semangat mereka untuk berdiri dibarisan paling depan, bahkan ikut berdesakan dengan masyarakat lokal dan jurnalis untuk mengabadikan festival yang telah dilakukan sejak delapan tahun lalu. Festival Senggigi 2008 semakin meriah dengan berbagai atraksi budaya yang dibawakan oleh masing-masing kecamatan dan melibatkan lebih kurang 300 seniman di Lombok dan juga seniman peserta dari Banyuwangi, Aceh dan Bali.

Dari serangkaian acara, puncak kemeriahan festival ditandai dengan acara Njenengan. Njenengan adalah upacara pengukuhan jabatan seorang pejabat baru dengan sistem adat, setelah dilantik secara resmi oleh pemerintah. Prosesi Njenengan sudah tidak pernah dilakukan lagi sejak tahun 60-an dan termasuk salah satu tradisi yang mulai dilupakan dan luntur dari ingatan masyarakat Lombok.

"Festival kali ini memang sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini kita mencoba membangkitkan kembali tradisi yang sudah mulai dilupakan masyarakat, yaitu Njenengan," kata Wakil Ketua Panitia Festival Senggigi 2008 Lalu Suhaemie.

Acara Njenengan menurut pelaku budaya di Lombok ini, dulunya selalu dilakukan setiap ada pejabat baru yang dilantik. Namun sayangnya kearifan lokal tersebut tergeser oleh perubahan zaman. Acara Njenengan diawali dengan prosesi mengantarkan pejabat yang baru dilantik kepada tetua adat untuk di sahkan jabatannya dengan upacara adat dan disaksikan oleh seluruh masyarakat desa.


Njenengan diawali dengan perarakan pejabat bersama anggota keluarganya. Setelah itu diberikan kepada dewan adat untuk dinobatkan. Dewan adat akan mengesahkan penobatan itu dengan memberikan umbak atau gendongan kain dengan 225 keping uang logam. "225 jika dijumlahkan menjadi sembilan, itulah jumlah anggota tubuh manusia yang harus dipertanggungjawabkan. Itu juga melambangkan keberanian mengangkat beban dan mempertanggung jawabkannya," terang Lalu.

Banyak nilai filosofis bisa dimbil dari acara Njenengan yang dilangsungkan, dari asesoris yang dikenakan, semua memiliki makna dan artinya masing-masing. Seperti keris yang dinamakan genggaman, menjadi isyarat bahwa memimpin rakyat tidak selalu dengan kekerasan. "Keris diibaratkan sebagai pedoman untuk menjaga kepribadian," ujur Lulu.

Ditambahkan Lalu, upacara Njenengan dilakukan dengan perayaan yang rumit. Misalnya dengan mendudukkan pejabat yang baru di atas beruga. Beruga adalah tempat duduk bertiang empat terbuat dari Pohon Turi dan dikelilingkan sebanyak tujuh kali. Semakin tinggi jabatan yang diupacarakan, semakin mewah beruga tempat duduknya. "Karena kita hanya ingin menyegarkan ingatan masyarakat terlebih dahulu, jadi upacara kita buat seperti pawai tanpa beruga," ujarnya.

Selain Njenengan iring-iringan tradisi dari 15 kecamatan di Lombok juga semakin meriah dengan tampilnya tari Mojong yang terkenal karena sudah sangat tua dan telah ditarikan sejak Belanda masih bercokol di Indonesia. Ada juga Periseian yang merupakan latihan perang antara dua prejurit dengan menggunakan tameng dan rotan untuk memukul lawan. "Sejauh ini Festival Senggigi selalu mengalami peningkatan. Namun yang sedikit disayangkan kurang teraturnya acara," kata Sapta Nirwandar.

Festival Senggigi 2008 ternyata bukan hanya menampilkan acara-acara kesenian tradisional semata. Namun juga menjadikan peluang bisnis yang bagus bagi pebisnis handicraft. Pameran karya unggulan tersebut dilangsungkan di Senggigi Square yang masih berada di Jalan Senggigi.

Berbagai karya hasil kreatifitas masyarakat, mulai dari ukiran, tenun hingga bagaimana menganyam rotan menjadi sebuah tas bisa ditemukan dalam pameran ini. Namun untuk harga yang ditawarkan tentu adalah harga pameran yang lebih mahal, dibandingkan dengan pasar-pasar seni yang banyak berada di pinggir-pinggir pantai. (bernadette lilia nova)