Selasa, 05 Agustus 2008

Filosofi Guci Maling

Tentu saja belum lengkap rasanya, jika mengunjungi Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), jika belum datang dan menyaksikan langsung proses pembuatan gerabah di Desa Banyumulek di Lombok Barat. Untuk mencapai desa yang dihuni lebih kurang 500 kepala keluarga ini bisa menggunakan angkutan darat lebih kurang 20 hingga 30 menit dari Mataram.

Memasuki desa Banyumulek, kesibukan warga membuat gerabah terlihat dihampir semua rumah. Demikian pula dengan jalan-jalan di sepanjang desa, dipenuhi oleh tumpukan tanah liat yang dijemur. Agar tanah liat lebih cepat kering dan tidak membutuhkan tenaga yang besar untuk menghancurkannya, tanah liat dijemur di tengah jalan. Semakin banyak kendaraan, semakin banyak digilas mobil atau motor, semakin mudah pengrajin menghaluskan tanah liat yang kering.

Untuk mendapatkan sebuah guci atau gerabah yang cantik, dibutuhkan proses yang panjang. Setelah dijemur, tanah liat dihaluskan. Setelah halus, dicampur dengan pasir sungai agar gerabah yang dihasilkan lebih kuat dan tahan lama. "Untuk mendapatkan keramik dari awal proses hingga siap dipasarkan dibutuhkan 20 hari," kata pemandu kami Hari.
Setelah semua bahan tersedia, barulah para wanita yang kebanyakan ibu rumah tangga membuat berbagai jenis kerajinan tembikar. Uniknya di desa ini pekerjaan laki-laki dan perempuan berbeda. Para wanita khusus membuat keramik menjadi guci ataupun kendi atau berbagai model lainnya sesuai pesanan. Sedangkan kaum pria mengukir, menghaluskan dan memasarkan.

"Mungkin karena wanita lebih telaten, makanya pekerjaannya adalah mengolah tanah liat menjadi gerabah yang cantik. Proses pembakaran, sekarang dilakukan bersama," tambah Hari lagi.

Dari ratusan model dan bentuk gerabah yang dihasilkan di Banyumulek, sebuah kendi bernama Kendi Maling menjadi favorit warga dan wisatawan. Kendi Maling ini cukup unik karena untuk memasukkan air ke dalam kendi haruslah dari bagian belakang. Proses terciptanya kendi tersebut karena merujuk pada filosofi maling yang masuk ke rumah lewat pintu belakang. "Setelah air dimasukkan, guci dimiringkan perlahan. Itu juga filosofi maling yang masuk diam-diam. Setelah guci berdiri, air di dalamnya sudah bisa diminum," katanya.


Selain guci maling, menyaksikan proses pembakaran tembikar juga sangat menarik. Untuk satu kali pembakara dibutuhkan waktu dua jam agar hasilnya benar-benar sempurna. Proses pembakaran di desa ini juga masih menggunakan cara tradisional, yaitu dengan menggunakan kayu bakar dan timbunan jerami. "Satu tempat pembakaran dikelola oleh sepuluh kelompok. Proses pembakarannya dilakukan bergotong royong," tutur Hari.
Tercatat dari Desa Banyumulek kemudian kerajinan gerabah yang dihasilkan dipasarkan ke Bali. Selain Bali, hasil kerajinan tangan turun temurun tersebut juga di ekspor keberbagai negara. Diantaranya, Australia, Jepang dan German. "Masyarakat Banyu Mulek sudah memiliki koperasi yang menampung hasil kerja mereka bila tidak ada order. Namun yang bisa masuk koperasi adalah gerabah yang bermutu," terang Hari. (bernadette lilia nova)
foto-foto by bernadette lilia nova

Tidak ada komentar: