Kamis, 14 Februari 2008

Wisata Rohani Museum Katedral



Wisata Rohani Museum Katedral

Selain memamerkan benda bersejarah keagamaan, Museum Katedral Jakarta juga mengoleksi lukisan karya penjahat legendaris yang ditembak mati 1980-an, Kusni Kasdut.

Siapapun yang melewati Jln Katedral atau berkendara dari Lapangan Banteng Jakarta Pusat, pastilah akan langsung menyaksikan terpampangnya dua bangunan besar nan megah, Gereja Katedral atau yang dikenal juga dengan nama De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming atau Gereja Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga dan Masjid Istiqlal Jakarta, yang letaknya berhadap-hadapan.

Dengan menara putih terbuat dari baja yang menjulang ke angkasa, yang seakan muncul dari balik puncak-puncak kehijauan pohon, gereja yang diresmikan pada 1901 berdasarkan arsitektur bergaya neo-gotik dari Eropa, gereja ini menjadi salah satu bangunan ibadah yang memiliki pesona dan karisma tersendiri di Ibukota.

Keindahan arsitektur gereja, semakin terasa ketika memasuki halaman utama, kesan lapang terasa kental. Putih alami warna dinding gereja, membuat nuansa klasik mengusik siapapun yang datang untuk beribadah atau sekadar berjalan-jalan menikmati keindahan bangunan gereja yang dirancang oleh Pastor Antonius Dijkmans dan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Provicaris Carolus Wenneker.

Dari bagian depan katedral, tepatnya di atas pintu masuk, terdapat tiga puncak menara yang menjulang tinggi. Masing-masing menara memiliki nama dan makna tersendiri, menara kecil di tengah-tengah atap dengan sebuah ukiran lingkaran di bawahnya dinamakan dengan Menara Angelus Dei. Sedangkan dua menara dengan tinggi 60 meter dari atas tanah, di sisi kanan dan kiri Angelus Dei, masing-masing dinamakan Benteng Daud dan Menara Gading.

Namun secara umum, katedral ini dibangun menyerupai salib berukuran raksasa, dengan panjang 33 meter x 17 meter. Ruang altar dibuat setengah lingkaran, sedangkan ruang utama dihiasi oleh enam tiang berukuran raksasa yang menjulang menyentuh langit-langit. Keindahan bangunan ibadah ini semakin terasa dengan langit-langit yang dibuat melengkung dari kayu jati bewarna coklat mengkilap.

Kesan agung dan sakral semakin terasa, ketika menginjakkan kaki di pintu masuk. Di tempat ini, terdapat batu pualam putih yang menempel di dinding, yang bertuliskan Marius Hulswit Architectus Erexit Me 1899 – 1901 yang berarti Aku didirikan oleh Arsitek Marius Hulswit 1899 – 1901.

Walaupun pada prasasti disebut hanya Hulswit sebagai arsiteknya, cukup banyak bukti bahwa Dijkmans-lah yang membuat sketsa-sketsa pertama dari gereja berkapasitas 900 lebih umat ini. Keberadaan Dijkmans sebagai pembuat gambar asli diungkapkan oleh Romo Kurris SJ yang menemukan arsip Jesuit di Nijmegen, Belanda, tentang data dan gambar yang ditandatangani Dijkmans. Denah dasar geraja ini bisa ditemukan di ruang museum sekarang ini.

Suasana di dalam gereja yang memiliki tiga buah lonceng yang memiliki inskripsi dengan bahasa latin tersebut, akan semakin sakral, ketika pendar-pendar matahari menembus kaca jendela yang didesain berukuran besar khas bangunan Eropa. Dari kaca patri beraneka warna akan terpantul kilau keemasan matahari, keindahan interior gereja, dipadukan dengan cahaya matahari yang masuk lewat kaca jendela, membuat pengunjung betah berlama-lama.

Tidak jauh dari pintu masuk utama, bagi pengunjung yang ingin menyaksikan koleksi-koleksi benda bersejarah dan antik milik gereja, bisa naik ke lantai dua dengan menyusuri tangga yang terbuat dari kayu jati. Disepanjang dinding tangga menuju ruang museum, pengunjung dimanjakan dengan keberadaan foto-foto bersejarah yang menggambarkan proses pembangunan gereja dari awal, hingga kondisi Jakarta tempo dulu. “Museum ini tidak menutup diri dari masyarakat umum, mahasiswa ataupun pelajar boleh datang untuk mengunjungi museum,” kata Pengelola Museum Katedral Jakarta Eduardus Suwito.

Lebih lanjut ditambahkan relawan yang telah dua tahun bekerja sebagai Pengurus Museum Katedral Jakarta tersebut, dulunya gereja katedral belum memiliki museum. Namun atas kepedulian Romo Kurris SJ, terhadap benda-benda tua bersejarah, akhirnya 1988, Katedral Jakarta bisa membuat sebuah museum setelah mengumpulkan benda-benda bersejarah yang dulu letaknya terpisah-pisah.

“Waktu itu Romo Kurris SJ menunjukkan kepeduliannya terhadap benda-benda bersejarah gereja dengan mengumpulkan benda-benda milik gereja dan kemudian membuat museum,” ungkap laki-laki ramah yang biasa dipanggil dengan nama Edo tersebut.


Lukisan Penjahat Legendaris Kusni Kasdut

Keagungan dan keindahan bangunan Gereja Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga atau yang lebih dikenal dikalangan masyarakat dengan nama Gereja Katedral Jakarta, di Jln Katedral no 7 ini, ternyata juga menggugah seseorang yang diwaktu hidupnya dikenal sebagai penjahat legendaris di Jakarta, Kusni Kasdut. Keagungan dan keindahan gereja katedral dituangkannya menjadi sebuah lukisan yang indah dan sekarang lukisan tersebut bisa dilihat dan dinikmati di Museum Katedral Jakarta.

Tercatat, Kusni Kasdut dihukum mati dengan cara ditembak mati karena kejahatan yang telah dilakukannya. Dalam keterasingannya di penjara dan jauh dari orang-orang yang dicintai, ternyata sisi agamis Kusni Kasdut tumbuh semakin dalam. Apalagi ketika di penjara dan sebelum dieksekusi mati, Kusni Kasdut sempat berkenalan dengan seorang pemuka agama katolik.

Setelah berkenalan dengan pemuka agama tersebut, Kusni Kasdut akhirnya memutuskan untuk menjadi pengikut setia. Hingga penjahat yang cukup ditakuti di Jakarta pada era 1960 hingga 1970 dan dituduh pernah merampok emas di sebuah museum ini, dihukum mati 16 Februari 1980, Kusni Kasdut dibabtis sebagai pemeluk katolik dengan nama Ignatius Kusni Kasdut.

Disaat-saat menunggu hari eksekusi matinya, Kusni Kasdut menuangkan rasa cintanya terhadap agama yang telah dianutnya, dengan menuangkannya dalam sebuah lukisan yang terbuat dari gedebok pohon pisang. Dalam lukisan tersebut, tergambar dengan rinci sebuah gambar katedral lengkap dengan menara dan arsitektur bangunannya yang unik. “Setelah lukisan gedebok pisang itu jadi, sebagai tanda terimakasihnya, Kusni Kasdut memberikan lukisannya itu kepada Gereja Katedral Jakarta. Beberapa hari setelah itu Kusni Kasdut ditembak mati,” kata Pengurus Museum Katedral Jakarta, Eduardus Suwito.

Selain lukisan karya Kusni Kasdut, di dalam museum yang terletak di lantai dua gereja dan memutari altar tersebut, juga terdapat benda-benda bersejarah dan memiliki makna tersendiri bagi perkembangan gereja katolik di Indonesia. Benda-benda itu antara lain adalah, sebuah benda terbuat dari emas murni yang dikenal dengan nama Monstrans bercorak barok. “Monstran dengan emas murni ini dibuat di kota Roermond, Belanda sekitar tahun 1700, dulunya digunakan untuk upacara keagamaan katolik,” terang Edo.

Koleksi-koleksi Museum Katedral Jakarta yang tidak kalah menarik dan bisa disaksikan langsung adalah keberadaan sebuah perahu. Perahu dayung ini dilengkapi pula dengan patung Pastor Bonneke SJ, yang tenggelam di Flores lebih dari 200 tahun lalu. “Pastor Bonneke SJ adalah salah satu pembawa ajaran katolik di Indonesia Timur, sebelum akhirnya meninggal karena tenggelam dengan kapal kecilnya,” ungkap pria kelahiran Jakarta tersebut. (bernadette lilia nova)

Sabtu, 09 Februari 2008

Djeladjah Kota Toea Djakarta I

Djelajah Kota Toea DJakarta

Menjelajahi bangunan kuno di kota tua Jakarta, seperti menyaksikan pergolakan dan perubahan sejarah.

Matahari masih malu-malu menyapa pagi, udara dingin dan mendung tipis menggelayut di angkasa. Membuat banyak orang enggan beranjak dari selimut dan kamar yang nyaman. Namun, suasana pagi yang dingin, mendung yang menggayut tipis, tidak membuat hampir 400 peserta yang tergabung dalam acara Jelajah Kota Toea, yang diselenggarakan oleh Komunitas Jelajah Budaya bersama Museum Bank Mandiri, patah semangat untuk memulai pagi minggu itu dengan menjelajahi bangunan-bangunan tua, yang masih eksis berdiri di pojok Jakarta.

Keceriaan pagi itu, semakin terasa dengan penampilan peserta yang mengenakan seragam merah, dengan kartu anggota dikalungkan dileher. Seakan tidak mau melewatkan even sekecil apapun dalam Jelajah Kota Toea, yang diselenggarakan kali ini. Perlengkapan peserta tidak kalah menarik, seperti ransel besar berisi kamera, lengkap dengan tripot, hingga topi layaknya penjelajah.

Ketika jarum jam tepat diangka 08.00, lantai dua di Museum Bank Mandiri mulai memutarkan film-film tentang sejarah kota Jakarta tempo dulu. Dilanjutkan dengan pembagian peserta menjadi kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok, berisikan lebih kurang 15 anggota dengan satu orang pemandu.


Kelompok pertama, yang menamakan diri sebagai kelompok Kung Fu The, mendapat kehormatan dipandu langsung oleh Ketua Komunitas Jelajah Budaya Kartum Setiawan. Kelompok ini, langsung saja mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan pertama mengunjungi bangunan-bangunan tua. Tidak heran, jika kemudian kelompok ini mengalami pembengkakan jumlah anggota, ketika para jurnalis dari media cetak dan elektronik, ikut bergabung dalam rombongan.

Mendung yang semula menggelayut di atas kota, perlahan-lahan hilang. Mataharipun mulai bersinar cerah. Penjelajahan menyusuri kota tua Jakartapun, dimulai dengan memasuki areal yang terkenal dengan nama, Kawasan Niaga Pasar Pagi Lama. Dalam sejarah dulunya, tempat ini adalah kawasan perniagaan ternama warga Cina, yang ditandai dengan Arsitektur bangunan yang rata-rata terbuat dari kayu dengan atap melengkung, khas arsitektur Cina di daerah asalnya.



Sepintas menyaksikan deretan toko-toko dengan warna coklat kusam, jendela-jendela yang berlapiskan debu tebal bahkan pecah diberbagai bagian, seolah menjadi pengingat, lamanya waktu yang telah dilewati tempat ini. Hal tersebut memang wajar saja, karena tercatat, sejarah Jakarta dimulai sekitar 3500 SM, diawali dengan terbentuknya pemukiman sejarah di sepanjang daerah aliran sungai Ciliwung. Seiring dengan berlalunya waktu, maka kampung-kampung kecilpun tumbuh, bahkan ada yang bertahan sampai sekarang yang di sebut Kampung Orang Cina (Pecinan).

Namun sayang, kenyamanan pejalan kaki di kota sebesar Jakarta, termasuk disepanjang jalan Pasar Pagi Lama, tidak memungkinkan rombongan untuk tetap bergerombol dalam satu kelompok, karena jalan raya yang sempit ditambah parkir mobil yang berdesakan di pinggir jalan, membuat suara sang pemandu dengan mikerophone-pun kalah dengan deru mobil dan lalu lalang kendaraan lainnya.

Suasana sedikit berbeda ketika rombongan melanjutkan perjalanan ke Jln Pasar Gelap. Di kawasan ini, jalanan semakin sepi. Hanya sesekali saja kendaraan melintas di jalan utama. Memasuki sebuah lorong sempit, rombongan disambut oleh sebuah bangunan kecil hanya dengan satu jendela terbuat dari papan. Sedangkan bagian bawah bangunan ini, berfungsi sebagai jalan umum.


“Rumah yang dibawahnya jalan umum tersebut, memiliki sebuah prasasti yang berisikan nama pemiliknya. Namun sayang untuk rumah-rumah tua milik pribadi seperti ini, data tentang rumah tersebut susah digali, karena banyak yang dibiarkan terbengkalai,” kata Kartum Setiawan.

Setelah rombongan kembali bersatu, dan jalanan sudah mulai lebar, perjalanan dilanjutkan menuju Toko Obat Lay An Tong. Bukti kejayaan toko obat ini terasa, ketika menyaksikan besarnya bangunan toko dan panjangnya lahan yang digunakan oleh toko tersebut. Zaman-zaman keemasan toko obat ini, juga ditandai dengan kokohnya pintu depan toko. Dibagian depannya saja, toko ini dilengkapi dengan jeruji-jeruji besi dan sebuah pintu kayu yang kokoh.

“Bangunan ini adalah bangunan asli, termasuk lantai dan semua bagian dinding dan atapnya. Keaslian lantai bisa dilihat dari jaraknya yang lebih rendah dari jalan raya di depannya yang telah mengalami beberapa kali peninggian. Hal itu membuat toko ini selalu kebanjiran ketika musim hujan,” tambah Kartum Setiawan.

Kesan suram dan kelamnya masa lalu, seakan segera terlupakan, ketika menyaksikan di depan Toko Obat Lay An Tong berdiri sebuah klenteng kecil dengan warna-warna cerah seperti, kuning dan merah. Kesan meriah kelenteng yang dinamakan dengan Budhi Dharma ini, semakin terasa dengan lambaian daun nyiur yang dipajang di depannya. “Walaupun kelenteng ini ukurannya kecil, namun kelenteng ini merupakan salah satu cagar budaya yang banyak dikunjungi,” terang Kartum lagi.

Melanjutkan perjalanan ke Jln Perniagaan yang dulunya bernama Jln Patekoan, suasana kembali terasa seperti mundur kebeberapa abad sebelumnya, apalagi ditambah dengan terlihatnya sebuah bangunan yang dikenal dengan sebutan Rumah Keluarga Souw. Rumah keluarga ini menjadi sangat terkenal bukan saja dikalangan masyarakat Cina masa itu, namun orang-orang Batavia waktu itu juga mengenalnya dengan baik.

Kisah keterkenalan Keluarga Souw dimulai sejak tahun 1659, ketika Gan Djie pindah ke Batavia dan tinggal disebuah rumah yang sekarang disebut Perniagaan (Patekoan). Di Batavia, ia berjualan hasil bumi. Karena sifat baiknya dan suka menolong, dalam waktu singkatGan Djie menjadi salah satu orang terkemuka di Batavia. . “Dalam sejarahnya, rumah Keluarga Souw sering kali didatangi oleh pejalan kaki, karena di depannya terdapat teko-teko teh, yang diberikan gratis kepada pejalan kaki. Lama kelamaan jalan diareal rumah keluarga Souw terkenal dengan sebutan Patekoan, yang berasal dari sejarah tersebut,” terang Kartum lagi.

Hingga sekarang, Rumah Keluarga Souw, masih terawat dengan baik dan masih didiami oleh keturunan dari Souw. Bahkan bangunan asli masih bisa ditemukan dengan mudah, karena walaupun sudah termasuk bergaya kuno, namun bangunan berdinding gelap dan atap juga berwarna gelap ini masih kokoh berdiri. (bernadette lilia nova)

Djeladjah Kota Toea Djakarta II


Sekolah Tiong Hoa Hwee Kuan

Perjalanan rombongan belum berakhir, walaupun udara siang mulai terasa gerah, dan keringat mengalir. Namun perjalanan masih tetap dilanjutkan mengunjungi beberapa situs bersejarah lainnya. Yang tidak kalah menarik adalah keberadaan sebuah sekolah yang dikenal dengan nama Sekolah Tiong Hoa Hwee Kuan.

Letak sekolah ini, hanya beberapa ratus meter dari rumah kediaman Keluarga Souw. Di kalangan remaja dikawasan ini, gedung Tiong Hoa Hwee Kuan dikenal dengan nama SMA Negeri 19 Jakarta. Atau dikenal juga dengan sebutan cap-kau yang artinya 19. Sangat kontras dengan bentuk bangunan kuno lainnya, yang mayoritas berwarna gelap dan dibangun berdasarkan bentuk tradisional Cina, tidak demikian dengan bangunan sekolah yang diyakini menjadi tempat berdirinya organisasi Tionghoa modern di kota Batavia, 17 Maret 1900 lalu.

Jika bangunan tradisional berupa rumah-rumah tradisional masyarakat Cina kental dengan ornaman Cina dengan atap ekor wallet, tidak demikian dengan sekolah ini. Bangunan terlihat cukup kokoh dengan desain kotak bertingkat. Warnanyapun dibuat kontras dengan warna hijau tua.
Layaknya sekolah umum lainnya, sekolah ini juga ramai oleh remaja-remaja yang sedang melakukan aktivitas minggu mereka, termasuk baris berbaris di halaman gedung. “Bangunan ini sangat bersejarah, karena di tempat inilah organisasi pertama yang modern untuk warga Cina dimulai,” kata Kartum.

Berdirinya sekolah ini, merupakan bentuk ketidakpuasan masyarakat Cina waktu itu, yang menganggap pemerintah kolonial Belanda tidak adil, karena tidak memberikan kesempatan kepada anak-anak Cina untuk mengenyam pendidikan di Batavia.

“Sekolah ini juga merupakan sekolah anak-anak Cina pertama yang menggunakan bahasa Belanda. Gedung ini menjadi saksi yang sangat nyata tentang keinginan masyarakat Cina dalam mendidik anak-anak mereka,” tambahnya. (bernadette lilia nova)

Djeladjah Kota Toea Djakarta III




Gereja Santa Maria De Fatima
Bukti Kerukunan Beragama Masa Lalu


Perjalanan belum berakhir hingga di Jln Patekoan atau sekarang terkenal dengan sebutan Jln Perniagaan. Namun perjalanan masih berlanjut hingga memasuki kawasan, Jln Kemenangan. Tidak banyak yang tahu, jika di jalan ini terdapat sebuah gereja katholik yang memiliki arsitektur unik, yaitu gereja dengan ornamen Cina.


Begitu melihat arsitektur gereja ini, pastilah peserta langsung mengerti mengapa mereka diajak untuk mengunjungi gereja ini. Dari segi gaya arsitektur gereja ini sangat khas dan mungkin satu-satunya di Indonesia. Gereja ini dibangun dalam bentuk gedung besar kediaman seorang pejabat Tionghoa, dengan bentuk atap ian-boe heng (ekor wallet) serta dikawal sepasang shi shi (singa batu). Tak banyak yang diketahui mengenai pemiliknya yang pertama kecuali ia seorang berpangkat Luitenant derc hineezen dan bermarga Tjioe.


Salah satu keistimewaan gedung ini adalah adanya inskripsi dalam aksara Tionghoa. Di bagian bubungan atap tertera daerah asal pemiliknya yang terdahulu yaitu kabupaten Nan An, keresidenan Quanzhou, propinsi Fujian. Inskripsi lain juga di bagian bubungan atap yaitu fu shou, kang, ning yang artinya rezeki, umur panjang, kesehatan dan ketentraman.




Di bawah pengelolaan gereja, bangunan ini tampak sangat terpelihara baik tanpa menghilangkan keasliannya. Sebuah sketsel berwarna merah dan emas dipasang di depan pintu utama gereja, berfungsi menghalangi pandangan luar langsung masuk ke dalam. “Tahun 1950-an, gereja ini adalah kediaman para pastur. Namun seiring berlalunya waktu dan semakin banyaknya umat Katholik di komplek ini, akhirnya gereja yang semula rumah tinggal ini menjadi tempat beribadat resmi umat Katholik,” kata Seksi Liturgi Gereja Santa Maria De Fatima Frans Gunawan.


Memasuki halaman gereja ini, suasana keagamaan terasa kental, di sebelah kanan bangunan gereja, terdapat sebuah tempat berdoa umat Katholik, yang menggambarkan Bunda Maria, dengan hiasan batu-batu alam yang ditata sedemikian rupa. Apalagi ketika rombongan sampai dilokasi ini, sedang berlangsung Misa minggu di dalam gereja.


Berbeda dengan arsitektur gereja atau katedral yang digunakan umat Katholik beribadah, yang lebih mengarah pada arsitektur bergaya Eropa, perpaduan antara arsitektur Cina terasa membuat gereja ini terasa semakin menarik. Di dalam gereja juga demikian. Meja persembahan atau altar, tempat imam memimpin Misa, juga kental dengan ornaman-ornamen Cina, seperti ukiran-ukiran Cina yang khas dan warna-warna merah yang mendominasi. “Sebagai cagar budaya, kita tetap berusaha menjaga Gereja Santa Maria De Fatima tetap berdiri dengan wujudnya yang asli. Karena memang itulah yang menjadi ciri khas,” kata Frans menerangkan.

Tercatat dalam sejarahnya, Gereja Santa Maria De Fatima ini dimiliki oleh seorang Kapiten Cina dari marga Tjioe, yang difungsikan untuk kediaman. Namun seiring dengan berlalunya waktu, bangunan ini dibeli oleh rohaniawan yang menjadi pengelola bangunan ini hingga sekarang. (bernadette lilia nova)

Jumat, 08 Februari 2008

Antologi Terbuang I

Rayuncie I

dalam ruang-ruang tergelap,
kusembunyikan hati untuk tampik hadirmu.
daun melayang terhempas diantara karang
biarlah dia luruh seperti gereja yang pulang kesarang
sembunyikan diri dalam kedalaman liang.
seperti pemimpi bisu yang terbangun
kugenggam hatimu sepenuh rasa
diketinggian brahmana atau di kedalaman sudra
akulah venus pecinta
yang menggapai terang meraba kekelaman.
tidak seperti burung hantu pada dahan
malam adalah raja cumbuan.
menggapai namamu saja
seperti berjudi dalam angin.
seperti awan yang kau inginkan,
tanah dan langit tidak mungkin saling bersentuhan,
sementara derak karat waktu tetap berlalu bercampur pilu.
rayuncie..
aku merindu jarimu telusuri karat waktu yang terhenti
ketika nadi kita berdenyut lebih cepat.
dekap.. dekaplah malam dalam satu helaan
peluk.. peluklah pagi dalam keterasingan permainan.
akulah venus pecinta yang merindu rayuncie berdiri berhadapan.


Rayuncie II

duri pertama
adalah asmaraloka kekhilafan
namun tidak berkutik dihentikan.
kubenamkan wajah diantara desah
o…. pecinta,
dengan menyebutkan namamu saja
malam berkhianat pada pagi menyumbui terang.
datanglah dalam hangat napas
menyisipkan panas mentari diantara bibir.
rengkuhlah mawarku yang dulu kusam
durinya tumpul oleh keji penantian.
jemputlah diantara lalang-lalang menguning
dikedalaman lembah,
atau hantarkan dengan semata kata,
kita adalah dua jiwa dalam satu aroma
bukan gelap, bukan terang
namun remang-remang
dan
dikeremangan percintaan menari.


Rayuncie III

rayuncie penggoda hasrat
tertambat namun dikelilingi sekat.
kehidupan menyisakan isak terakhir
kala kau goreskan sejumput lalang meranggas didada
akulah venus pecinta yang terlunta dalam asa tidak berbiduk
tanpa dayung.
nahkoda yang bingung kehilangan sauh.
kapan itu dera tertindih lepas beterbangan??
rayuncie, kupuja jumput rambutmu hingga rumpun hati
telah kutitipkan segala yang mengada,
pada rohmu yang pernah mengeja rasa
bersenggama dengan hati.
rayuncie, jika karat waktu bisa terhenti
takkan kubiarkan gelap menerpa
tenanglah jiwa… o.. pecinta
debur ombak biarlah menghempas ketepian
dengan camar terluka paruh diatasnya
nyiur telah melambai sejak bahula
tanpa kedatangan apa-apa
hanya sia dan sia…



Rayuncie IV

tidak seperti angin malam
yang melolong kesakitan
dewa kefanaan nyanyikan
kidung kejenuhan.
dari ketinggian tebing
dara bersuara mengeja satu nama
yang dia lupa.
rambutnya berkilau perak
biasan rembulan.
pernah dia berkaca pada cermin
yang terpantul cuma sepotong bibir
dan sekilat wajah.
galaunya,
bermuara dera tak teraba
kehilangan hati adalah kematian abadi


Rayuncie V

seperti kemarin
kita masih saja bergegas mengejar angin.
tanganmu terbuka diantara pagi
tak terkejar.
sedang keringat persetubuhan semalam
belum henti mengalir.
diapit pagi dan siang
biduk itu belum penuh
hanya kita yang jenuh melangkah.
dara….lagumu berdesir angin kehulu hati
tikam menikam dalam
kukais hatimu dengan hatiku ketika berkata jangan
kutelan namaku demi namamu
tanpa kunyahan
disudut hari hati berlari
tiada dian arah apalagi.

Bernadette Lilia Nova

Rabu, 06 Februari 2008

Antologi Terbuang II


Antologi Terbuang

satu sore gersang, aroma tanah terbakar sisa siang
sisipi antologi terbuang.
jalan kemarin yang kita tempuh
tidak lagi menyisakan jejak.
angin terbangkan pasir yang menenggelamkan kaki telanjang kita.
rayuncie bermata kelinci berhati sutra
telah kutitipkan roh persenggamaan hati dalam tari nan menyanyi.
dalam kemestian perjalanan ini,
namamu kupeluk diantara kepak bebas sayap sang merpati
dan disebuah ruang
cukup untuk berdua
dupa adalah cinta yang mengambang
peluk adalah asap beterbangan.


Penghabisan

rembulan yang sabit
menggantung kesepian dari balik barisan bukit
aroma tubuh memenuhi jantung hingga aorta
duhai dara
gema dilembah murung
tindasi bunga rumput hingga ujung daun
luka pertama
syair terakhir.

Rayuncie I

tidak seperti angin malam
yang melolong kesakitan
dewa kefanaan nyanyikan
kidung kejenuhan.
dari ketinggian tebing
dara bersuara mengeja satu nama
yang dia lupa.
rambutnya berkilau perak
biasan rembulan.
pernah dia berkaca pada cermin
yang terpantul cuma sepotong bibir
dan sekilat wajah.
galaunya,
bermuara tak teraba
kehilangan hati adalah kematian abadi



Rayuncie II

rayuncie
berkepang eka
mendung menggulung terang
tapi hujan belum turun
dipelabuhan
meriam dan bedil menyalak takut-takut
waktu seperti kuda tanpa pelana
berlari sahaja
detiknya adalah surai
terjurai menit
sedang kita tetap saja
gagap membaca
seperti debu dilarung angin
berhamburan
lagumu mewangi dipuncak-puncak hati
tanpa basi
aku merayu malam
tapi kau berlari dibalik pagi


Rela

bait-bait puisi terpasung
kakinya lebam
sedang hatinya hitam
seperti perjamuan akhir kita
tanpa kata
biduk itu karam
sebelum kita mengayuhnya
duhai dara perampok rasa
aku rindu aroma
seperti karang ditampar ombak
kokoh berdiri
walau lumut merembeti tubuh
pergilah dara

dibalik angin kita bersua





Sia-Sia

malaikat malam
berbusana kelam
melintasi langit menyalip bintang
sayapnya terentang panjang
menutup ruang
tetes air di pancuran
menggugahnya untuk mencuci tangan
namun pagi menjelang datang



Mengentah..

seperti kemarin
kita masih saja bergegas mengejar angin.
tanganmu terbuka diantara pagi
tak terkejar.
sedang keringat persetubuhan semalam
belum henti mengalir.
diapit pagi dan siang
biduk itu belum penuh
hanya kita yang jenuh melangkah.
lagumu berdesir angin kehulu hati
tikam menikam dalam
kukais hatimu dengan hatiku ketika berkata jangan
kutelan namaku demi namamu
tanpa kunyahan
disudut hari hati berlari
tiada dian arah apalagi.


Tanya

siapakah dia dewi kelam
yang memanjakan mimpi?
hanya irama jangkrik
denging tiada henti
untai kata-kata tercipta untuk dilupa
prosa terakhir hanya nada sumbang
yang mengambang
ibarat angin menerpa perahu
hanya sauh perhentian
rayuncie
kuseduh namamu sedalam hati
jelajahi kelam tanpa terang
seperti pertapa muda
mati rasa bermati jiwa
muliakan cinta
diotaknya puisi menari
O.. dihatinya hanya mimpi.

Dewi Malam

Dewi....
penyulam dera
langkah pagi basi
merangkaki hari
jika retak kaca jendela
tidak berkabut
wajahmu terpantul segelap malam
setengah tengadah mengutil gemintang
mengentah
kupuja dengan jiwa
memanjai denyut malam
seperti barisan serdadu
sangkur di pundak
perbatasan memanggil
ilalang tuapun meminta
kesemayam rindu
biarlah berkubur.. pilu



Dialog Senja

ilusi tentangmu
menikam dalam kesakitan
peri-peri hati tidak lagi bernyanyi
angin lewat saja
tanpa terbangkan apa-apa
bisu sebisu bukit batu
perbatasan kota
mengais senja

Bernadette Lilia Nova

Mutiara Dari Timur I


Eksotisme Mutiara Dari Timur

Selain terkenal dengan keelokan alamnya, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), terkenal pula sebagai penghasil mutiara terbesar di Indonesia.

Keindahan alam mulai dari pantai dan laut yang membiru sejauh mata memandang, kehijauan pulau-pulau kecil yang terlihat menghampar sebagai pembatas ufuk, menjadi pemandangan menarik, ketika menginjakkan kaki di bumi Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Apalagi ketika perjalanan dimulai dengan menggunakan mobil menuju Teluk Kodek, yang terletak di Lombok Barat Bagian Utara. Dibutuhkan waktu dua jam lebih, dari pusat kota Lombok, untuk menjangkau teluk berair bening ini.


Sepanjang perjalanan dari Ampenan, tidak henti-hentinya rombongan disuguhi oleh panorama yang menarik, mulai dari keindahan lekuk Gunung Rinjani, yang merupakan gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia dengan ketinggian 3.726 meter dari permukaan laut, serta terletak pada lintang 8º25' LS dan 116º28' BT ini, merupakan gunung favorit bagi pendaki karena keindahan pemandangannya.


Menikmati kehijauan lembah dan gunung, membuat perjalanan menuju Teluk Kodek, terasa lebih cepat, walaupun harus melewati jalan beraspal yang berliku.Teluk Kodek menjadi salah satu tujuan perjalanan kali ini oleh rombongan yang terdiri dari Direktorat Perikanan Kelautan (DKP) dan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) dengan program, Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, karena Teluk Kodek, menjadi salah satu tempat pemberdayaan kerang mutiara, sekaligus menjadi salah satu tempat wisata bahari paling digemari oleh wisatawan mancanegara ataupun wisata lokal.


Berbeda dengan aktifitas penduduk di pinggir pantai umumnya, yang sibuk dengan jaring dan perahu-perahu nelayan, di Teluk Kodek, aktifitas itu sama sekali berbeda. Memasuki teluk ini, rombongan disambut oleh aktifitas masyarakat yang tengah sibuk membuat peralatan untuk tempat kerang-kerang mutiara bersarang. Peralatan yang terbuat dari tali plastik, kawat dan tali-tali pengikat, berbentuk segiempat tersebut dinamakan kolektor.


Membudidayakan kerang mutiara, memang tidak mudah, selain kualitas kerang harus terjamin, peralatan yang dinamakan kolektor tersebut, juga menjadi salah satu sarana paling penting, untuk mendapatkan kerang-kerang mutiara yang bermutu. Alsannya adalah samakin cocok kolektor yang dibuat untuk tempat kerang bersarang, maka larva-larva kerang mutiara akan mudah menempel, bersarang dan hidup pada alat tersebut.


Untuk mendapatkan kolektor yang digemari oleh kerang, berbagai prosespun dilakukan, mulai dari memintal tali plastik, hingga memasukkannya dalam laboratorium pembibitan, menjadi sebuah rutinitas yang harus dilalui. Walaupun tenggelam dengan rutinitas sehari-hari untuk pembuatan kolektor, namun suasana di Teluk Kodek sama sekali tidak menunjukkan kesibukan rutinitas pekerjaan yang monoton, karena sambil bekerja, 20-an laki-laki dan wanita, bekerja sambil bercanda, seakan menikmati hembusan angin yang bertiup dari laut menuju sebuah pondok kecil tanpa dinding tempat mereka bekerja. “Penduduk yang bekerja membuat kolektor dibagi menurut tahap masing-masing, misalnya ada yang memotong tali plastik, menjalinnya menjadi sebuah jalinan yang kuat, dan ada yang menggosok tali tersebut dengan sebuah sikat yang keras, proses itu, merupakan proses awal pembuatan kolektor untuk kerang mutiara bersarang,” kata Manager PT Otore Malaka, Lab Pembibitan Kerang Mutiara, Mariam.


Lebih lanjut ditambahkan wanita yang mengaku berasal dari Irian Jaya ini, setelah proses pembuatan kolektor selesai, maka kolektor-kolektor tersebut direndam dengan air selama dua hari. Ini berfungsi untuk memudahkan proses penempelan larva kerang mutiara. “Untuk menempelkan larva-larva kerang mutiara, kita membutuhkan mikroskop untuk melihat dan menempatkan larva. Karena larva-larva tersebut sangat kecil,” tambah Mariam.


Karena proses penempelan larva yang rumit, Mariam mengaku dalam sebuah laboratorium pembibitan, terdapat empat ruang utama. Ruang itu dinamakan, Ruang Persiapan, Ruang Larva, Ruang Alga dan Ruang Pompa. Berbeda dengan ruang persiapan yang masih memperlihatkan kolektor-kolektor yang masih kosong, di Ruang Larva, delapan tangki raksasa memenuhi ruangan. Tangki-tangki yang memenuhi ruangan itu, ternyata berisi jutaan larva kerang mutiara.


“Di ruang larva, semua larva ditampung selama satu bulan, satu tangki berisi 15 sampai 20 juta larva. Untuk memberi makan larva-larva tersebut, kita juga memiliki ruang khusus yang dinamakan ruang alga. Ditempat ini makanan kerang mutiara yang masih berbentuk larva dibuat dan dibudidayakan,” tambah Mariam.


Proses yang tidak kalah rumit, menurut Mariam adalah pada saat kolektor-kolektor berisi bibit-bibit kerang mutiara dilepaskan kelaut, karena tingkat kematian pada saat pemindahan ini sangat tinggi, bahkan bisa mencapai 60 persen. “Belum tentu bibit kerang mutiara yang kita pelihara di laboratorium bisa bertahan. Belum lagi termasuk gangguan ikan-ikan yang memakan kerang. Untuk itu kolektor kita lapisi dengan semacam karung goni,” kata Mariam menerangkan.


Setelah puas menyaksikan proses pembibitan kerang mutiara di dalam laboratorium, proses pembudidayaan kerang mutiara yang tidak kalah menarik adalah, mengamati proses pertumbuhan kerang di laut. “Setelah kerang cukup berukuran 5 hingga 7 cm, kerang kita pindahkan lagi kedalam kolektor yang lebih besar, jika kerang sudah memasuki ukuran 10 hingga 14 cm mereka kita pindahkan lagi. Pada ukuran seperti ini, biasanya satu kolektor hanya berisi empat kerang saja,” ujar Mariam lagi.


Berjarak lebih kurang 500 meter dari pantai, kerang-kerang mutiara yang telah dipindahkan kelaut, memang membutuhkan penjagaan yang ektra ketat. Hal itu tentu saja tidak berlebihan, karena bisnis kerang mutiara bukanlah bisnis yang tanpa resiko. “Karena faktor keamanan itulah, setiap tempat pembudidayaan kerang mutiara selalu membuat rumah terapung sebagai tempat penjagaan,” katanya lagi. (bernadette lilia nova)

Mutiara Dari Timur II


Hukum Kawi-Kawi Gili Terawangan

Siang semakin terik, mataharipun tanpa segan-segan menumpahkan sinarnya yang panas kepermukaan laut yang bening. Puas menikmati dan menyaksikan proses budidaya kerang mutiara di Teluk Kodek, perjalanan siang itu dilanjutkan dengan menumpang sebuah boat yang terbuat dari fiberglass. Karena lebih ringan dari kapal yang terbuat dari kayu dan papan, kapal yang kami tumpangi melaju kencang memecah gelombang. Perlahan namun pasti, pinggir-pinggir pantai berlari menjauh, hingga 20 menit diatas boat, tidak terasa tepianpun tidak lagi terlihat.

Seiring dengan hilangnya bibir pantai dari pandangan dibelakang kapal, sebuah gili, begitu masyarakat Lombok menyebut sebuah pulau, terhampar di depan mata. Gili atau pulau itu ternyata bernama Gili Terawangan. Setelah berlabuh ditepian, perjalanan dilanjutkan dengan berkeliling pulau. Hampir sama dengan Bali, Gili Terawangan, ternyata bukan objek wisata yang asing bagi turis-turis mancanegara. Hal ini tentu saja bisa dilihat dengan banyaknya turis berjemur di pantai, ataupun banyaknya penginapan yang berdiri di pulau kecil ini.

Untuk mengelilingi pulau yang berpenduduk hampir 200 orang ini, bisa dilakukan dengan mengendarai sebuah andong atau orang Lombok menyebutnya dengan cidomo. Atau jika ingin menikmati kebebasan, pengunjung bisa pula menyewa sebuah sepeda pancal, untuk satu kali sewa, pengunjung dikenakan biaya sebesar Rp 30 ribu.

Perjalanan mengunjungi Gili Terawangan ini, tidak akan lengkap, tanpa terlebih dahulu merasakan kesejukan air laut dengan ombak dan pecahan buih di dalamnya. Selain diving, snorkeling ditempat ini, termasuk salah satu olahraga yang banyak digemari. Apalagi ketika Sindo mencoba snorkeling ditempat ini, selain harga sewa peralatan yang murah, yaitu Rp 10 ribu untuk kacamata dan kaki katak, keindahan terumbu karang dan ikan-ikan yang berenang dikedalaman, menjadi pemandangan menarik yang tidak henti-hentinya datang silih berganti.

Selain disuguhi oleh pemandangan bawah air yang asri dengan karang, dan ikan-ikan hias yang berkejaran, snorkeling ditempat ini, juga menjanjikan kejutan menarik. Kejutan menarik tersebut juga dialami Sindo, ketika hampir 15 menit snorkeling dipantai berair bening ini. Bagaimana tidak, belum terlalu jauh meninggalkan pantai, sambil terus berenang dan tidak henti-hentinya memuji keindahan bawah laut, seekor kura-kura berdiameter hampir satu meter, terlihat tengah makan menikmati rumput-rumput laut dikedalaman. Ketenangan sang kura-kura, semakin terasa menggoda, apalagi kedatangan makhluk asing berenang diatasnya, sama sekali tidak membuat kura-kura tersebut takut, untuk terus menghabiskan makanannya.

Berenang bersama kura-kura menjadi sensasi menyenangkan, namun perjalanan harus dilanjutkan untuk memasuki pulau kecil yang terbagi dalam lima wilayah tersebut, yaitu, daerah yang dinamakan Pila Ombak, Kape, Almare, Nusa Tiga dan Balikkanan Pulau kecil itu, semakin menggoda ketika mengetahui bahwa pulau ini memiliki peraturan adatnya sendiri. Dan kepatuhan masyarakat dalam menjalankan peraturan adat yang dikenal dengan nama Aturan Kawi-Kawi, tersebut, membuat jalanan di pulau kecil ini bersih tanpa ceceran kotoran kuda diatasnya, padahal di pulau kecil ini, terdapat lebih dari 100 andong.

“Salah satu peraturan adat yang tidak bisa diabaikan adalah, bagi pemilik andong yang menjatuhkan kotoran kudanya dijalanan, mereka akan didenda sesuai dengan aturan yang berlaku. Demikian pula kalau mereka melakukan perbuatan seperti mencuri atau berzina, mereka akan diarak keliling pulau sambil meneriakkan kalau mereka telah mencuri,” kata salah satu pemilik andong di Gili Terawangan, Junaidi.

Suasana di Gili Terawangan semakin menarik, apalagi ketika matahari mulai bergeser keufuk Barat. Cahayanya yang kemerahan, membuat pulau yang juga dikenal sebagai Bali kedua di Lombok ini, tenggelam dalam suasana nan romantis. Menikmati matahari tenggelam, rasanya semakin menarik dengan ditemani oleh secangkir kopi dan sepiring kentang goreng. (bernadette lilia nova)

Mutiara Dari Timur III


Dua Gili Pengintaian Paus

Berbeda dengan Gili Terawangan yang dijadikan sebagai tempat beristirahat dan berwisata para turis, tidak demikian dengan dua gili yang kami kunjungi berikutnya. Dua gili tersebut adalah, Gili Sulat dan Gili Lawang. Di dua gili ini, sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda kehidupan manusia, hanya hembusan angin, hutan-hutan bakau yang menutupi pulau dan kicau burung-burung yang terbang dengan bebasnya di hutan yang menjadi rumah mereka. Keindahan terumbu karang dengan berbagai jenis karang di dalamnya, seakan mengundang pengunjung untuk memujinya, apalagi berbagai jenis karang beraneka warna yang terlihat dari atas kapal yang kami tumpangi.


Gili Sulat dan Gili Lawang, merupakan dua pulau yang terletak disebelah timur bagian utara Pulau Lombok. Pulau ini termasuk dalam wilayah Desa Sambelia, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan potensi sumber daya laut yang dimilikinya, kemudian Gili Sulat dan Gili Lawang ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut daerah. Karena banyaknya burung-burung yang bersarang di Gili Sulat, akhirnya di pulau kecil ini, dibuatlah sebuah jalan setapak dari papan, yang memudahkan para pengunjung untuk mengamati mangrove ataupun mengamati burung-burung yang riang berkicau.


Keberadaan dua pulau ditengah laut ini, menjadi semakin menarik, karena dari kejauhan dua pulau ini seakan menyatu dalam kehijauan, namun semakin mendekati dua pulau ini, sebuah selat memisahkan pulau ini, masing-masing dengan ciri khasnya masing-masing. Gili Sulat merupakan pulau yang kaya dengan mangrove, di pulau ini pulalah terdapat lebih dari 17 jenis mangrove, hal ini membuat Gili Sulat, menjadi pulau terbesar kelima di dunia dengan keanekaragaman mangrovenya. Sedangkan Gili Lawang, merupakan sebuah pulau dengan 60 persen mangrove dan sisanya merupakan lapangan terbuka, sehingga pulau ini banyak pula dikunjungi oleh pecinta atam untuk mendirikan tenda atau camping dilokasi ini.


Keberadaan dua pulau ini, semakin terkenal saja, karena pada waktu-waktu tertentu, yaitu bulan Desember dan Januari, ketika dunia bagian utara mengalami musim dingin, pulau ini menjadi tempat pengintaian bagi penduduk ataupun nelayan yang ingin menyaksikan ikan-ikan paus bermigrasi. “Paus-Paus memang bermigrasi melewati laut ini, jadi dua gili ini, menjadi salah satu tempat paling strategis untuk menyaksikan ikan-ikan raksasa itu bermigrasi,” kata Kepala Dinas Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Lombok Timur, Aminullah.


Puas mengelilingi dua gili, yang menjadi tempat pengintaian para paus bermigrasi, rombongan kembali diizinkan untuk menikmati kesejukan air dan menyaksikan keindahan karang-karang yang hidup di dalamnya dengan berenang. Puas menikmati kesejukan dan asinnya air laut, rombonganpun akhirnya memutuskan untuk mengunjungi sebuah tempat yang tidak jauh dari pulau tersebut, tempat itu dinamakan Pondok Wisata Apung. “Rencananya untuk menggalakkan pariwisata di tempat ini, kita menyewakan sebuah rumah wisata kepada para turis, pondok wisata ini bisa disewakan entah itu jadi penginapan ataupun jadi tempat memancing,” terang Aminullah.


Menikmati makan siang setelah capek berkeliling dan berenang di pulau-pulau cantik di bagian timur Indonesia, Pondok Wisata Apung menjadi pilihan menarik. Apalagi dengan menu-menu menarik yang ditawarkan, seperti ikan panggang dengan saos tiram. Membuat perjalanan mengunjungi tiga gili di Lombok, semakin tidak terlupakan. (bernadette lilia nova)