Rabu, 06 Februari 2008

Antologi Terbuang II


Antologi Terbuang

satu sore gersang, aroma tanah terbakar sisa siang
sisipi antologi terbuang.
jalan kemarin yang kita tempuh
tidak lagi menyisakan jejak.
angin terbangkan pasir yang menenggelamkan kaki telanjang kita.
rayuncie bermata kelinci berhati sutra
telah kutitipkan roh persenggamaan hati dalam tari nan menyanyi.
dalam kemestian perjalanan ini,
namamu kupeluk diantara kepak bebas sayap sang merpati
dan disebuah ruang
cukup untuk berdua
dupa adalah cinta yang mengambang
peluk adalah asap beterbangan.


Penghabisan

rembulan yang sabit
menggantung kesepian dari balik barisan bukit
aroma tubuh memenuhi jantung hingga aorta
duhai dara
gema dilembah murung
tindasi bunga rumput hingga ujung daun
luka pertama
syair terakhir.

Rayuncie I

tidak seperti angin malam
yang melolong kesakitan
dewa kefanaan nyanyikan
kidung kejenuhan.
dari ketinggian tebing
dara bersuara mengeja satu nama
yang dia lupa.
rambutnya berkilau perak
biasan rembulan.
pernah dia berkaca pada cermin
yang terpantul cuma sepotong bibir
dan sekilat wajah.
galaunya,
bermuara tak teraba
kehilangan hati adalah kematian abadi



Rayuncie II

rayuncie
berkepang eka
mendung menggulung terang
tapi hujan belum turun
dipelabuhan
meriam dan bedil menyalak takut-takut
waktu seperti kuda tanpa pelana
berlari sahaja
detiknya adalah surai
terjurai menit
sedang kita tetap saja
gagap membaca
seperti debu dilarung angin
berhamburan
lagumu mewangi dipuncak-puncak hati
tanpa basi
aku merayu malam
tapi kau berlari dibalik pagi


Rela

bait-bait puisi terpasung
kakinya lebam
sedang hatinya hitam
seperti perjamuan akhir kita
tanpa kata
biduk itu karam
sebelum kita mengayuhnya
duhai dara perampok rasa
aku rindu aroma
seperti karang ditampar ombak
kokoh berdiri
walau lumut merembeti tubuh
pergilah dara

dibalik angin kita bersua





Sia-Sia

malaikat malam
berbusana kelam
melintasi langit menyalip bintang
sayapnya terentang panjang
menutup ruang
tetes air di pancuran
menggugahnya untuk mencuci tangan
namun pagi menjelang datang



Mengentah..

seperti kemarin
kita masih saja bergegas mengejar angin.
tanganmu terbuka diantara pagi
tak terkejar.
sedang keringat persetubuhan semalam
belum henti mengalir.
diapit pagi dan siang
biduk itu belum penuh
hanya kita yang jenuh melangkah.
lagumu berdesir angin kehulu hati
tikam menikam dalam
kukais hatimu dengan hatiku ketika berkata jangan
kutelan namaku demi namamu
tanpa kunyahan
disudut hari hati berlari
tiada dian arah apalagi.


Tanya

siapakah dia dewi kelam
yang memanjakan mimpi?
hanya irama jangkrik
denging tiada henti
untai kata-kata tercipta untuk dilupa
prosa terakhir hanya nada sumbang
yang mengambang
ibarat angin menerpa perahu
hanya sauh perhentian
rayuncie
kuseduh namamu sedalam hati
jelajahi kelam tanpa terang
seperti pertapa muda
mati rasa bermati jiwa
muliakan cinta
diotaknya puisi menari
O.. dihatinya hanya mimpi.

Dewi Malam

Dewi....
penyulam dera
langkah pagi basi
merangkaki hari
jika retak kaca jendela
tidak berkabut
wajahmu terpantul segelap malam
setengah tengadah mengutil gemintang
mengentah
kupuja dengan jiwa
memanjai denyut malam
seperti barisan serdadu
sangkur di pundak
perbatasan memanggil
ilalang tuapun meminta
kesemayam rindu
biarlah berkubur.. pilu



Dialog Senja

ilusi tentangmu
menikam dalam kesakitan
peri-peri hati tidak lagi bernyanyi
angin lewat saja
tanpa terbangkan apa-apa
bisu sebisu bukit batu
perbatasan kota
mengais senja

Bernadette Lilia Nova

Tidak ada komentar: