Jumat, 08 Februari 2008

Antologi Terbuang I

Rayuncie I

dalam ruang-ruang tergelap,
kusembunyikan hati untuk tampik hadirmu.
daun melayang terhempas diantara karang
biarlah dia luruh seperti gereja yang pulang kesarang
sembunyikan diri dalam kedalaman liang.
seperti pemimpi bisu yang terbangun
kugenggam hatimu sepenuh rasa
diketinggian brahmana atau di kedalaman sudra
akulah venus pecinta
yang menggapai terang meraba kekelaman.
tidak seperti burung hantu pada dahan
malam adalah raja cumbuan.
menggapai namamu saja
seperti berjudi dalam angin.
seperti awan yang kau inginkan,
tanah dan langit tidak mungkin saling bersentuhan,
sementara derak karat waktu tetap berlalu bercampur pilu.
rayuncie..
aku merindu jarimu telusuri karat waktu yang terhenti
ketika nadi kita berdenyut lebih cepat.
dekap.. dekaplah malam dalam satu helaan
peluk.. peluklah pagi dalam keterasingan permainan.
akulah venus pecinta yang merindu rayuncie berdiri berhadapan.


Rayuncie II

duri pertama
adalah asmaraloka kekhilafan
namun tidak berkutik dihentikan.
kubenamkan wajah diantara desah
o…. pecinta,
dengan menyebutkan namamu saja
malam berkhianat pada pagi menyumbui terang.
datanglah dalam hangat napas
menyisipkan panas mentari diantara bibir.
rengkuhlah mawarku yang dulu kusam
durinya tumpul oleh keji penantian.
jemputlah diantara lalang-lalang menguning
dikedalaman lembah,
atau hantarkan dengan semata kata,
kita adalah dua jiwa dalam satu aroma
bukan gelap, bukan terang
namun remang-remang
dan
dikeremangan percintaan menari.


Rayuncie III

rayuncie penggoda hasrat
tertambat namun dikelilingi sekat.
kehidupan menyisakan isak terakhir
kala kau goreskan sejumput lalang meranggas didada
akulah venus pecinta yang terlunta dalam asa tidak berbiduk
tanpa dayung.
nahkoda yang bingung kehilangan sauh.
kapan itu dera tertindih lepas beterbangan??
rayuncie, kupuja jumput rambutmu hingga rumpun hati
telah kutitipkan segala yang mengada,
pada rohmu yang pernah mengeja rasa
bersenggama dengan hati.
rayuncie, jika karat waktu bisa terhenti
takkan kubiarkan gelap menerpa
tenanglah jiwa… o.. pecinta
debur ombak biarlah menghempas ketepian
dengan camar terluka paruh diatasnya
nyiur telah melambai sejak bahula
tanpa kedatangan apa-apa
hanya sia dan sia…



Rayuncie IV

tidak seperti angin malam
yang melolong kesakitan
dewa kefanaan nyanyikan
kidung kejenuhan.
dari ketinggian tebing
dara bersuara mengeja satu nama
yang dia lupa.
rambutnya berkilau perak
biasan rembulan.
pernah dia berkaca pada cermin
yang terpantul cuma sepotong bibir
dan sekilat wajah.
galaunya,
bermuara dera tak teraba
kehilangan hati adalah kematian abadi


Rayuncie V

seperti kemarin
kita masih saja bergegas mengejar angin.
tanganmu terbuka diantara pagi
tak terkejar.
sedang keringat persetubuhan semalam
belum henti mengalir.
diapit pagi dan siang
biduk itu belum penuh
hanya kita yang jenuh melangkah.
dara….lagumu berdesir angin kehulu hati
tikam menikam dalam
kukais hatimu dengan hatiku ketika berkata jangan
kutelan namaku demi namamu
tanpa kunyahan
disudut hari hati berlari
tiada dian arah apalagi.

Bernadette Lilia Nova

Tidak ada komentar: