Jumat, 13 Juni 2008

Surga Di Lereng Gunung Salak III

Flying Fox Ke Curug Cigamea

Selain villa di Gunung Salak yang identik dengan kehijauan dan keindahan pemandangannya, banyak objek wisata lainnya yang bisa juga dikunjungi ketika menginap di The Michael Resorts karena letaknya yang berdekatan. Objek wisata itu seperti, air terjun yang dikenal masyarakat Bogor dengan istilah curug.

Terdapat banyak curug di daerah yang berdekatan dengan The Michael Resorts, seperti Curug Nangka, Curug Luhur dan Curug Cihurang. Namun dari banyak curug, yang paling terkenal adalah Curug Cigamea. Dari The Michael Resorts hanya dibutuhkan waktu 10 menit untuk bisa mencapai gerbang masuk curug yang memiliki dua air terjun berdampingan ini, dengan mengendarai mobil atau bus.
Untuk mencapai air terjun, dibutuhkan waktu paling kurang satu jam berjalan kaki, mengikuti jalan setapak. Namun bagi mereka yang ingin menikmati sensasi meluncur dengan flying fox bisa mampir disebuah pos, yang khusus menyediakan jasa peluncuran dengan membayar Rp 20 ribu per orang.

Sensasi meluncur dengan fying fox di Objek Wisata Curug Cigamea ini benar-benar terasa mendebarkan. Karena di bawah lintasan peluncuran adalah jurang yang dalam dan dipenuhi oleh pohon. Panjang perlintasan peluncuran mencapai 170 meter dengan ketinggian 40 meter dari jurang di bawahnya. “Kalau Sabtu dan Minggu, biasanya yang melucur dengan flying fox bisa mencapai 60 orang. Sedangkan flying fox ini baru beroperasi sejak dua bulan lalu,” kata Pengelola Flying Fox dari Perkumpulan Rentek Solid Yana Mulyana.
Diterangkan Yana untuk meluncur dengan flying fox dibutuhkan peralatan yang harus benar-benar terjamin keamanannya, karena meluncur dengan flying fox termasuk salah satu olahraga ekstrim dengan resiko tinggi. Alat-alat yang dibutuhkan itu antara lain, sebuah sit harness yang berguna untuk mengikat peluncur. “Yang paling dibutuhkan pula adalah tali transfer, tali ini berfungsi untuk menghentikan luncuran kalau-kalau terjadi kesalahan. Tali ini juga berfungsi menarik katrol yang telah sampai di bawah,” terang Yana.
Setelah meluncur dengan flying fox, jarak menuju Curug Cigamea sudah tidak terlalu jauh. Di curug ini, para pengunjung akan dimanjakan oleh keindahan alam dengan batu-batu besar yang bertebaran disepanjang aliran air terjun. Ingin menambah kesan romantis, pengunjung bisa menikmati sajian jagung bakar dengan harga Rp 3 ribu yang bisa dipesan di dekat air terjun. (bernadette lilia nova)

Rabu, 04 Juni 2008

Perbatasan Papua-PNG I

foto by Bernadette Lilia Nova
Melancong Di Perbatasan Papua-PNG

Keharmonisan hubungan dua negara bisa diamati lewat perbatasan. Setidaknya perbatasan RI dan Papua New Guinea membuktikannya.


Matahari di bumi cendrawasih siang itu terasa terik membakar ubun-ubun. Namun keelokan alam dan kehijauan pohon-pohon disepanjang jalan menuju perbatasan RI dengan negara tetangga Papua New Guinea (PNG), terasa menyejukkan. Untuk mencapai gerbang perbatasan dua negara, dibutuhkan kurang lebih tiga jam dari Jayapura dengan menempuh jalur darat.

Jika mengendarai mobil pribadi tidak memungkinkan, di Jayapura tersedia mobil.-mobil keluaran terbaru seperti Innova, Swift, Honda Jazz atau Suzuki SX4 X Over, yang setiap hari beroperasi sebagai taksi dan tentu saja bisa disewa lengkap dengan supirnya. Rata-rata untuk satu jam, taksi-taksi modern ini bisa disewa dengan harga Rp 300 ribu. "Kebanyakan mobil-mobil keluaran terbaru di Papua diimport langsung dari Jepang," kata penduduk Papua sekaligus pemandu, Wolter.

Disepanjang jalan perbatasan yang dilewati, diantara rimbunnya hutan, sesekali terlihat onggokan kayu gergajian yang ditumpuk menunggu angkutan. Entah legal atau tidak, yang jelas hutan Papua semakin lama semakin terbuka, ulah para penjarah atau pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH) di era Orde Baru (Orba).



Lebih kurang 3 km dari tapal batas menuju gerbang perlintasan utama, terdapat pos penjagaan pertama. Pos penjagaan ini dijaga oleh Komando Pelaksanaan Operasi Perbatasan RI-PNG (Kolakops Pantas RI-PNG), Yonif 408 Diponegoro. Walaupun senjata siap terkokang, namun kami disambut dengan wajah-wajah ramah. Setelah tujuan kedatangan diketahui, akhirnya kami diizinkan melanjutkan perjalanan menuju Desa Wutung, Kecamatan Skouw. Wutung adalah Desa terakhir di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga yang sekarang dipimpin oleh presiden Michael T Somare tersebut.

Mendekati ujung jalan perbatasan, kehidupan masyarakat desa mulai terasa sibuk. Apalagi keberadaan pasar tradisional dengan pedagang dan pembeli yang sibuk dengan kegiatan tawar menawar harga.

Masyarakat Desa Wutung sedikit lebih beruntung karena pasar tradisional terdapat di wilayah Indonesia. Itu membuat orang-orang dari daerah Vanimo yaitu wilayah terdekat di PNG ke perbatasan, harus memasuki wilayah Indonesia untuk berbelanja. "Gerbang perbatasan dua negara akan ditutup pukul 16.00," kata petugas penjaga perbatasan RI-PNG, Sersan I Ari Puranto.


Selain pos penjagaan kedua negara, menara pengintai, kantor imigrasi dan rumah-rumah dinas para petugas perbatasan, tapal batas dua negara ini sibuk dengan orang yang berlalu lalang. Entah dari PNG ke Indonesia, atau sebaliknya. "Masyarakat dua negara disini masih memiliki hubungan persaudaraan. Banyak juga penduduk PNG yang memiliki ladang di Papua. Orang Papua juga begitu, banyak yang memiliki tanah adat diwilayah PNG," tambahnya.

Tidak seperti tapal batas dua negara lainnya di Indonesia, perbatasan Papua dengan PNG terasa semarak dengan tempat-tempat peristirahatan yang dibangun dengan arsitektur tradisional Papua, lengkap dengan hiasan tifa-tifa raksasa. Itu menjadikan perbatasan dua negara ini menjadi objek wisata yang banyak dikunjungi masyarakat dari kedua negara. "Khusus penduduk perbatasan, setiap kali melintas hanya menggunakan kartu merah. Sedangkan orang diluar Desa Wutung harus membawa pasport, baru boleh melintas," terang Ari.

Yang menarik lagi, diantara dua gerbang selamat datang masing-masing negara, terdapat zona bebas yang hanya berjarak 10 meter. Melewati zona bebas dan memasuki wilayah PNG masih diizinkan untuk para wisatawan yang ingin berpose di dekat bendera PNG, ataupun dekat merah putih jika wisatawan itu berasal dari PNG, selama gerbang perbatasan belum ditutup.

Diperbatasan dua negara ini, sama sekali tidak terasa suasana yang kaku. Masyarakat dua wilayah masih bisa menyeberang tanpa perasaan was-was. Semoga persahabatan di perbatasan tetap langgeng. Seperti tulisan besar di gerbang bagian dalam PNG, yang bertuliskan thankyou for visiting PNG. (bernadette lilia nova).

Perbatasan Papua-PNG II

Kina Lebih Mahal

Layaknya pasar yang ditandai dengan berbagai kegiatan jual beli dan tawar menawar harga, suasana itu pula yang terlihat di pasar tradisional perbatasan Papua dengan Papua New Guinea (PNG). Selain menjual aneka kebutuhan pokok, pasar yang telah dibangun dengan permanen tersebut juga menjual berbagai benda elektronik.
Walaupun sepintas pasar di Desa Wutung tersebut hampir sama dengan pasar lainnya, namun di pasar ini para penjual maupun pembeli menggunakan dua mata uang berbeda. Yaitu Kina (K) dan Rupiah. Kina adalah mata uang PNG yang juga berlaku dan sah dibelanjakan di pasar perbatasan Indonesia. "Ini adalah pasar satu-satunya yang terdapat di perbatasan. itu membuat masyarakat perbatasan PNG belanja di pasar ini," kata Wolter.

Secara kasat mata, keberadaan pasar tradisional di wilayah Indonesia, tentu saja menguntungkan bagi pedagang di Indonesia, namun ketika ditelusuri lebih dalam, ternyata nilai mata uang PNG lebih tinggi dibandingkan dengan rupiah. "Satu Kina sama dengan Rp 3000. Jadi harga barang-barang di Indonesia lebih murah bagi masyarakat PNG perbatasan," terang Wortel lagi.

Untuk memudahkan para pedagang bertransaksi, di pasar tradisional tersebut, juga terdapat tempat penukaran mata uang atau money changer layaknya di kota-kota besar. "Yang paling banyak dipakai di pasar adalah Kina. Rupiah ada juga namun tidak banyak," tutur Wortel lagi (bernadette lilia nova).

Perbatasan Papua-PNG III

Fiji Bahasa Perbatasan

Perbatasan dua negara, selain unik dengan kebebasan menggunakan dua mata uang berbeda, perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea (PNG) juga menarik dengan bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakatnya.

Dalam bertransaksi atau melakukan komunikasi sesama mereka, masyarakat perbatasan lebih sering menggunakan Bahasa Fiji. Bahasa ini bisa dimengerti oleh masyarakat Papua ataupun masyarakat PNG. Bahasa Indonesia hanya digunakan di wilayah Indonesia, itupun ketika berkomunikasi dengan pendatang, juga ketika berkomunikasi dengan turis-turis yang melancong ke perbatasan.
"Bahasa Fiji dimengerti oleh kedua belah pihak. Sedangkan Bahasa Indonesia hanya dimengerti oleh masyarakat Papua di wilayah Indonesia. Jadi ketika berkomunikasi dengan orang dari PNG mereka lebih memilih menggunakan Bahasa Fiji," kata petugas perbatasan RI-PNG, Sersan I Ari Purwanto.

Selain dua mata uang dan dua bahasa yang digunakan oleh masyarakatnya, pasar di perbatasan RI-PNG, ternyata juga menjual berbagai jenis makanan kaleng seperti kornet hingga buah-buah yang diawetkan di dalam kaleng.

Barang-barang yang di Jakarta hanya bisa ditemukan di Mall ataupun di supermarket tersebut, ternyata datang dari Australia. Entah diimport resmi atau dibeli lewat pasar gelap, yang jelas masyarakat perbatasan telah mampu menikmati pasar bebas yang di dunia internasional sedang didengung-dengungkan. (bernadette lilia nova)

Rabu, 07 Mei 2008

Papua I

Pesona Seabad Jayapura

MATAHARI memancarkan cahaya kemerahan, saat rombongan menginjakkan kaki di Bandar Udara Sentani,Jayapura. Senja yang mulai menyergap ibu kota Papua,menambah keelokan alam yang masih perawan.

Keramahan khas bumi cendrawasih menyambut rombongan dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Pesisir dan Lautan.
Demikian pula ketika memasuki tengah kota,sepanjang Jalan Buncen hingga Jalan Pasifik Raya, alam menyuguhkan pemandangan yang kian memesona. Kemolekan Teluk Yosefa dengan airnya yang menghampar bening sejauh mata memandang, menenangkan dari kelelahan perjalanan panjang yang ditempuh dari Jakarta.

Keindahan alam seolah tak putus hingga ke pusat kota. Dimana hamparan Teluk Pasifik menyejukkan mata. Seperti halnya dermaga pada umumnya, teluk ini memiliki kesibukan sebagai tempat bersandarnya kapal. Aktivitas bongkar-muat barang menjadi dinamika khas kota pelabuhan. Hampir sama dengan kota-kota lainnya di Indonesia, sebagai ibu kota provinsi, Jayapura memiliki sarana cukup lengkap. Deretan toko-toko, bank hingga kantor asuransi ada di kota ini.

Namun, yang membuat kota ini terlihat berbeda dan semakin cantik adalah terpampangnya tulisan besar Jayapura City di atas bukit, menghadap langsung ke tengah kota layaknya Holly- wood.

Perjalanan rombongan kecil kali itu adalah untuk menyambut seabad Kota Jayapura.
“ Menyambut seratus tahun Kota Jayapura pada 2010 mendatang, kami menggelar acara bertajuk ‘Gerakan Bersih Pantai dan Laut’,berlangsung di pesisir Kota Jayapura,” kata Ketua Panitia Gerakan Bersih Pantai dan Laut Jan Piet Nerokow.


Gerakan Bersih Pantai

Pagi yang cerah, energi kembali memenuhi tubuh setelah cukup istirahat semalam. Gerakan bersih pantai hari itu diawali dengan kuliah umum tentang mitigasi tsunami oleh pakar tsunami internasional, yang juga Kepala Subdit Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan Subandono Diposaptono di Universitas Cendrawasih.

Dalam kuliah umum tersebut terungkap, Papua adalah pulau paling rawan terhadap bencana gempa dan tsunami. “Setiap harinya di Papua terjadi ratusan gempa. Karena skalanya kecil,jadi tidak dilaporkan. Dengan mitigasi bencana ini, kami berharap masyarakat bisa waspada dan seratus tahun pembangunan di Jayapura tidak sia-sia,” kata Subandono.

Acara bersih pantai yang diselenggarakan bersama Pemerintah Provinsi Papua itu mendapat sambutan hangat dari masyarakat Jayapura. Terlihat masyarakat sibuk membersihkan jalanan kota hingga pinggir pantai dari sampah dan limbah plastik. “Papua adalah pulau yang sangat cantik. Sungai-sungainya mengalirkan emas. Tinggal kita memberikan penyadaran pada masyarakat untuk menjaga alam dan lingkungan,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan RI Freddy Numberi di lokasi kegiatan.

Berbagai kegiatan menarik dan bermanfaat bagi masyarakat lainnya juga dilangsungkan dalam kegiatan bersih pantai kali ini. Seperti peresmian kedai pesisir, peresmian SPBU di pinggir pantai Desa Hamidi khusus untuk nelayan, penanaman cemara laut hingga pembangunan rumah tahan bencana gempa dan tsunami di enam desa di Papua. Satu abad Jayapura memiliki tujuan agar masyarakat Papua semakin terbuka. Waniambey Rayse Papua, “Selamat datang di Papua”. (bernadette lilia nova)

Papua II

Tarian Perang dalam Damai

MENGUNYAH pinang bercampur sirih adalah tradisi yang mendarah daging dalam masyarakat Papua. Tidak heran bila sepanjang jalan di Jayapura, dengan mudah ditemukan penjual pinang muda, juga noda merah bekas pinang dikunyah di sepanjang jalan, bahkan di hampir semua tempat. Seperti halnya mengunyah pinang, masyarakat Papua juga memiliki tradisi penyambutan tamu.

Prosesi penyambutan tamu diperlihatkan dengan tarian yang terkenal dengan nama Tarian Tobe atau tarian perang. Tarian perang yang sekarang menjadi tari resmi penyambutan tamu dibawakan oleh Kelompok Wake Sembekera dari Daerah Nafri.

Ditarikan oleh 16 laki-laki dan dua penari perempuan, mereka menari dengan iringan tifa dan lantunan lagu-lagu perang pembangkit semangat. Panas mentari Papua yang menyengat tidak memudarkan semangat mereka untuk terus menari dan menabuh alat musik pukul yang menjadi ikon Papua tersebut.


“Biasanya tarian perang kami bawakan ketika kepala suku memerintahkan kita untuk berperang. Dengan tari ini, kami mengobarkan semangat prajurit,” kata Pemimpin Kelompok Tari Wake Sembekera Agustinus Taniau.

Mengenakan busana tradisional, dengan manik-manik penghias dada, rok terbuat dari akar bahar, dan daun-daun yang disisipkan pada tubuh, menjadi bukti kecintaan masyarakat Papua pada alam. “Karena sekarang sudah tidak ada perang, jadi tarian perang kami bawakan untuk menyambut tamu, termasuk dalam pesta pantai seperti ini,” tutur Agustinus dengan logat Papuanya yang unik. (bernadette lilia nova)

Papua III


Dua Pulau Pusat Kekuasaan

MEMANDANG Teluk Yosefa dari ketinggian jalan raya Jayapura, terasa menggetarkan. Bagaimana tidak, dari ketinggian itu terhampar teluk yang menjadi pembatas pulau-pulau kecil dengan Samudra Pasifik yang terbentang luas.


Dari ketinggian itu pula terlihat dua pulau tepat berada di tengah teluk. Dua pulau itu bernama Pulau Tobati dan Pulau Enggros. Bukan rahasia lagi bagi masyarakat Papua bahwa dari kedua pulau itulah hukum adat dan harga tanah di Jayapura ditentukan. Hal tersebut berlaku karena di masingmasing pulau berdiam tetua adat yang dikenal dengan sebutan Ondoafi.

Ondoafi di Papua demikian ditakuti dan diikuti karena status seorang Ondoafi lebih tinggi dari kepala suku. “Kalau ada orang yang ingin membeli tanah,mereka harus datang ke kedua pulau. Di situlah harga dan kesepakatan ditentukan,” kata penduduk Papua yang sekaligus menjadi pemandu, Wolter.

Diterangkannya, jika ingin membeli tanah di Papua haruslah dengan perjanjian adat yang jelas dan sepengetahuan Ondoafi. Karena sertifikat dianggap tidak ampuh bagi masyarakat tradisional Papua. “Pernah suatu hari ada orang membeli bukit kecil.Ketika bukit itu sudah rata karena tanahnya dikerok, si penjual datang lagi dan meminta tanahnya dikembalikan dengan alasan pembeli hanya membeli bukit, bukan tanah yang rata.

Akhirnya terpaksa si pembeli membayar lagi untuk tanah tanpa bukit,” kata pria paruh baya tersebut. Selain proses jual-beli tanah yang unik, proses perkawinan masyarakat Papua juga menarik.Dalam tradisinya, seorang pemuda diwajibkan membayar mas kawin berupa satu lusin piring antik.

Di Papua dikenal dengan istilah piring gantung.Semakin banyak piring gantung diberikan, semakin tinggi status pria tersebut.“ Selain piring gantung, seorang pria juga harus membawa mesin bermerek Jonhson. Tanpa itu,perkawinan belum dianggap sempurna,”kata Wolter menutup pembicaraan. (bernadette lilia nova)