Minggu, 12 Agustus 2007

Eksotisme Pulau Biawak I



PULAU BIAWAK
Si Cantik Nan Kesepian

Menikmati kehidupan satwa liar, mulai dari biawak yang berkeliaran bebas, atau menyaksikan kelucuan clown fish dikedalaman laut, Pulau Biawak tempatnya.

Perjalanan menuju Pulau Biawak, kali ini dimulai dari kantor Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), Yang terletak di Jln Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Setelah bersiap-siap, akhirnya tepat pukul 17.00 rombongan yang lebih kurang berjumlah sembilan orang, berangkat dengan dua mobil yang telah tersedia.

Tujuan pertama adalah Kota Indramayu, yang menjadi kota terakhir, jika hendak menuju Pulau Biawak, yang terletak di pantai Laut Jawa. Walaupun mengalami sedikit kemacetan, akhirnya rombongan yang tergabung dalam Program Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), sampai juga di Kota Indramayu, setelah menempuh perjalanan lebih kurang lima jam dari Jakarta.

Di kota ini, rombongan memutuskan untuk menginap, karena tidak ada penyeberangan malam hari menuju pulau kecil yang tidak tercatat dalam peta internasional. Karena dunia intenasional mengakui Pulau Biawak dengan nama Bonpis Island.

Ketika sinar matahari pagi mulai menyinari bumi, dan keceriaan pagi menjelma lewat tetes-tetes embun yang menguap, rombongan melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan terakhir tempat penyeberangan. Untuk menyeberang menuju Pulau Biawak yang terletak 22 mil sebelah utara Indramayu atau tepatnya berada di 108°23,49 Bujur Timur, dan 06°02’09 Lintang Selatan, rombongan akhirnya tiba di Pelabuhan Karangsong. Dari pusat kota Indramayu menuju Pelabuhan Karangsong hanya ditempuh selama 15 menit perjalanan.




Dipelabuhan ini, suasana pagi dihiasi dengan berbagai aktifitas masyarakat nelayan, usai melaut. Berbagai jenis ikan terlihat diusung dengan keranjang untuk dilelang di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) setempat. Ketika sampai dipelabuhan ini, ternyata KM Biawak dengan kapasitas 25 tempat duduk, telah siap mengantarkan rombongan untuk memulai perjalanan selama tiga jam menuju Pulau Biawak yang direncanakan. Di pelabuhan ini pula, akhirnya rombongan memutuskan untuk membeli dua dus mie isntan dan air mineral.

Dengan mesin baru, KM Biawak yang juga merupakan kapal patroli, melaju pasti memecah gelombang, suasana semakin ceria saja, diatas kapal ini, ketika Sindo berkesempatan mencoba menjadi nahkoda kapal, tentu saja dengan bimbingan dari nahkoda kapal. Berbeda dengan mengemudikan mobil, dimana pengemudi harus menginjak kopling, gas atau rem, di kapal, kemudi hanya dipandu dengan dua buah alat, yaitu kompas dan sebuah nafigasi penunjuk tujuan, yang terletak disebelah kanan dan kiri nahkoda. KM Biawak sudah lebih modern jika dibandingkan dengan kapal-kapal milik nelayan, yang hanya menggunakan kompas sebagai penunjuk arah dan sebuah layar, untuk penggerak. “Pantas saja, jalan kapal seperti ular,” celetuk ABK yang kebetulan mengintip keruang kemudi sambil tertawa.

Puas mengemudikan kapal, menikmati angin laut dan menyaksikan burung camar laut terbang di atas permukaan laut, sambil sesekali menukik untuk memangsa ikan-ikan kecil, merupakan hiburan tersendiri, ketika berada di kapal ini. Sementara dua jam perjalanan, sama sekali belum terlihat tanda-tanda munculnya pulau yang diidamkan dihadapan mata. Kejenuhan di atas kapal, akhirnya teratasi juga dengan bergabung dengan para ABK, diburitan kapal yang tengah melemparkan pancing ke laut. Namun lama menunggu, tidak satupun ikan yang mampir. Wajar saja, karena memancing di kapal dengan kecepatan delapan hingga sepuluh knot, merupakan hal yang tidak lazim dilakukan.
Bosan bergabung dengan ABK diburitan kapal, akhirnya hanya duduk-duduk menikmati aroma laut dan pemandangannya yang serba biru. Baru tiga jam perjalanan, Pulau Biawak muncul perlahan dihadapan mata, awalnya hanya berupa garis tipis diujung cakrawala, semakin mendekat, akhirnya terlihat juga karakter pulau dari kejauhan. Dengan sebuah menara mercusuar berdiri tepat di tengah pulau, seakan membelah dua pulau dengan seimbang. Dari kejauhan keperkasaan mercusuar terlihat sebagai penjaga pulau yang kokoh.

“Tahun 1872, Pulau Biawak bernama Bonpis Island, itu nama yang diberikan oleh Belanda pada saat itu. Perubahan nama kemudian terjadi, ketika para nelayan menemukan pulau itu dengan rakit, akhirnya pulau itu bernama Pulau Rakit. Pulau Rakit berubah lagi menjadi Pulau Biawak, karena di dalamnya memang terdapat lebih dari 400 ekor biawak,” kata Petugas Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai-Penjagaan dan Keselamatan (KPLP/Gamat), Koko Sudeswara.


Semakin mendekati pulau yang memiliki luas 72 hektar, keindahan semakin terasa menggugah hati, dengan kehijauan pohon bakau dipinggir-pinggir pantai ditambah beningnya laut, semakin membuat keindahan pulau terasa semakin menggoda. Untuk mendarat, rombongan harus dijemput oleh kapal nelayan yang berukuran kecil, hanya tiga meter panjangnya, karena KM Biawak, tidak bisa merapat hingga dermaga, karena pantainya yang dangkal.

Setelah memindahkan barang-barang dari KM Biawak ke kapal nelayan, rombonganpun mendarat di dermaga yang hanya terdiri dari susunan papan yang menghitam akibat cuaca laut dan lumut-lumut yang tumbuh menempel. Berjalan di dermaga ini, membutuhkan kehati-hatian, karena papan itu terlihat mulai rapuh dimakan usia dan dibeberapa ujung papan, paku-paku sudah mulai lepas. Sedangkan di ujung dermaga, sebuah gerbang bertuliskan Selamat Datang di Pulau Biawak terpampang menyambut setiap tamu yang datang berkunjung.

Ditempat ini, kemudian rombongan disambut oleh dua penjaga mercusuar yang mendiami pulau tersebut, karena memang pulau cantik ini, tidak berpenghuni kecuali penjaga mercusuar, yang harus menikmati tugas mereka di pulau terpencil ini. Dua penjaga mercusuar itu memperkenalkan diri masing-masing dengan nama Slamet Rianto dan B Sumanto TL. (bernadette lilia nova)

Tidak ada komentar: