Sabtu, 08 September 2007

Pesona Tomok I


Eksotisme Desa Kecil Tomok

Mengunjungi Medan, Sumatera Utara terasa belum lengkap, sebelum menginjakkan kaki dan menjelajahi desa kecil di Pulau Samosir, Tomok.

Masih terlalu pagi waktu itu, kurang lebih pukul 04.30, ketika satu demi satu rombongan yang tergabung dalam acara Test Drive Suzuki SX4 X-Over, dengan tujuan Medan, Sumatera Utara, check in di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta Cengkareng. Masih dengan suasana mengantuk, satu demi satu 12 orang yang tergabung dalam rombongan menuju, ruang tunggu pesawat, dan dengan setia menunggu pesawat menerbangkan rombongan.

Tidak lama menunggu, pesawat yang akan membawa rombongan-pun datang, dan berangkat menuju Medan. Dua jam waktu dalam perjalanan, ternyata cukup lumayan untuk melanjutkan istirahat atau sekadar tidur-tidur ayam dan memejamkan mata yang masih terasa panas, gara-gara harus bangun pagi-pagi sekali.

Penerbangan yang berjalan hampir dua jam, terasa nyaman dengan pemandangan yang tersaji dari ketinggian, apalagi ketika pesawat hendak mendarat. Kehijauan pohon-pohon dan deretan-deretan kebun kelapa sawit yang terbentang luas, terasa menyegarkan dilihat dari ketinggian. Suasana sejuk, semakin terasa ketika melihat sungai yang meliuk dengan airnya yang kemilau seperti perak.

Mendarat di Bandara Udara Internasional Polonia Medan, nuansa tradisi terasa kental, ketika menyaksikan atap gedung bandara, ditata ala rumah tradisional Medan, dengan atap tinggi berbentuk segitiga. Di luar bandara, rombongan disambut meriah oleh panitia Test Drive Suzuki SX4 X-Over. Yang langsung memberikan kunci kepada para jurnalis untuk segera mencoba mengemudikan mobil yang akan diluncurkan April mendatang.

Setelah semua rombongan memasuki mobil, perjalanan menuju kota Medan segera dimulai, ternyata jarak antara Bandar Udara Polonia hingga pusat kota Medan hanya ditempuh selama lebih kurang sepuluh menit. Dan sesampai di kota Medan, rombongan berhenti untuk sarapan. Setelah sarapan, perjalanan dilanjutkan kembali dengan tujuan Parapat.

Menelusuri jalan-jalan kota Medan pagi hari, terasa menyenangkan, dengan deretan-deretan bangunan-bangunan modern layaknya Jakarta. Sama sekali tidak terlihat bangunan tradisional di sepanjang jalan di kota ini. Bahkan yang cukup mengagetkan adalah, munculnya sebuah bangunan berarsitek cina, di Jln Kesawan. Mulai dari atap hingga ukiran-ukiran yang terlihat, semua kental nuansa China.

Ternyata, bangunan berarsitek China tersebut, adalah sebuah kediaman keturunan China yang terkenal dengan nama Tjong A Fie (1860–1921). Tjong A Fie adalah seorang pebisnis dan bankir Tionghoa yang terkenal dari kota Medan, Tjong A Fie meninggal pada tahun 1921.

Tidak banyak pemandangan yang bisa dinikmati di sepanjang jalan di tengah kota Medan, karena mobil melaju kencang. Malah perjalanan terasa lebih menantang ketika rombongan memasuki jalan tol menuju Parapat. Kota terakhir sebelum menyeberang menuju Pulau Samosir, yang terkenal dengan keelokan dan kekayaan budaya di dalamnya.

Berbeda dengan kebanyakan jalan tol di Jakarta, jalan tol ini, hanya ditempuh kurang dari 15 menit. Dan uniknya, sekaligus berbahaya, tepat di KM 32, jalan tol yang seharusnya satu arah, disini jalan tol menjadi dua arah, bahkan tanpa pembatas di antara dua jalur. Sehingga rombongan-pun tidak berkutik ketika sebuah truk semen berjalan pelan persis di depan mobil rombongan, tanpa bisa menyalip layaknya jalan tol di Jakarta.

Memasuki Parapat, kehijauan dan kesegaran udara yang berhembus semilir terasa sangat menghibur, apalagi menyaksikan kehijauan pohon-pohon karet dan perkebunan kelapa sawit, menjadi pemandangan utama yang datang silih berganti dari jendela mobil. Hamparan bukit-bukit menghijau, semakin membuat rombongan tidak henti-henti memuji keindahan kota ini.

Rombongan semakin terpesona, ketika mobil berhenti disebuah kedai kopi. Yang menarik dari warung kopi ini, adalah pemandangan dan bangunannya yang terletak dibibir tebing, sedangkan di bawahnya terhampar pemandangan Danau Toba dengan Pulau Samosir di tengah-tengahnya. Masih berselimut kabut tipis, rombonganpun berhenti dan mulai beraksi dengan mengabadikan keindahan itu dengan kamera foto.

Setelah puas mengabadikan keindahan Danau Toba dengan Pulau Samosir di tengahnya, rombonganpun kembali melanjutkan perjalanan, dan jalananpun terasa menjadi lebih berliku dan mulai menurun. Hingga akhirnya sebuah dermaga, menghentikan perjalanan rombongan. Itulah dermaga tempat kapal-kapal yang menamakan diri dengan KM Toba Cruise berjejer menunggu penumpang yang ingin menyeberang menuju Pulau Samosir di tengahnya.

Sebelum menyeberang, rombongan ternyata memutuskan untuk meletakkan barang-barang ke Hotel Niagara, tempat rombongan menginap. Tidak lama di Hotel, rombonganpun kembali melanjutkan perjalanan menuju dermaga di Parapat, dan memilih KM Toba Cruise 8, untuk menyeberangkan rombongan.

Tidak berbeda dengan tempat penyeberangan lain, di Dermaga Parapat-pun banyak anak-anak dengan perahu dayung kecil, berteriak-teriak agar penumpang kapal melemparkan uang koin yang mereka miliki ke dalam danau. Dengan kemahirannya anak-anak bertelanjang dada ini, menyelam dan menemukan koin yang dilemparkan.

Terlepas dari itu, Danau Toba sendiri terlihat seperti laut, karena ukurannya yang sangat besar. Tercatat, danau ini, memiliki panjang kira-kira 100 km dan lebar 30 km. Sedangkan Pulau Samosir, juga sangat luas. Dibutuhkan waktu sekitar delapan jam untuk mengelilingi pulau itu dengan mobil. Dari Parapat terlihat bahwa bukit-bukit di Samosir memiliki ketinggian kira-kira 20 m dari permukaan air danau.

Perjalanan dengan KM Toba Cruise 8, ternyata membutuhkan waktu lebih kurang 30 menit, air danau yang makin biru, dan pemandangan menarik tidak henti-henti disajikan ketika mengarungi danau ini menuju Pulau Samosir. Deretan perkampungan dari kejauhan dan bangunan-bangunan gereja di ketinggian bukit, membuat perjalanan dengan KM Toba Cruise 8 terasa romantis. Belum lagi hembusan angin dan menikmati gemericik air yang menerpa sisi kapal. Dari atas kapal ini, juga terlihat Wisma Soekarno, tempat Presiden pertama Indonesia itu diasingkan, dengan desain bangunan yang dicat dengan warna putih nan megah.

30 menit di atas KM Toba Cruise 8, rombongan mulai memasuki Pelabuhan Wisata Tomok, Kecamatan Simarindo, Medan, Sumatera Utara. Sebuah dermaga terlihat menjulang, dengan ukiran-ukiran tradisional Batak, yaitu sepasang cecak. Bukti kerukunan suku Batak, diabadikan di tugu selamat datang ini, dengan ukiran timbul masing-masing sepasang pengantin dengan pakaian tradisional Simalungun, Toba Karo, Pak-Pak, Mandailing, dan tulisan besar bertuliskan Horas dan Selamat Datang di Tomok. (bernadette lilia nova)

Pesona Tomok II


Makam Batu Raja Sidabutar

Perjalanan belum berakhir hingga di Pelabuhan Wisata Tomok, Kecamatan Simarindo. Namun keramahan masyarakat Tomok yang mulai terbiasa dengan kedatangan turis mancanegara apalagi turis lokal, seakan mengundang rombongan untuk menjelajah lebih dalam memasuki desa kecil nan eksotis ini. Kedatangan turis lokal ini, kemudian dimanfaatkan masyarakat dengan menjual berbagai suvenir khas Batak, mulai dari kalender Batak, yang terdiri dari 12 batang bambu kecil-kecil yang disatukan dengan benang, dan cocok digantungkan di pintu ataupun didinding rumah hingga baju-baju kaos bertuliskan Danau Toba, yang ditawarkan dengan harga bervariasi.

menelusuri kawasan ini, nuansa tradisi terasa kental, apalagi ketika menyaksikan deretan-deretan bangunan toko dan ruko beratap segitiga menjulang, khas Batak yang tertata apik, sehingga membuat suasana belanja di tempat ini terasa nyaman. Di tempat ini, akhirnya SINDO harus terpisah dari rombogan, karena harus mencari baterai untuk kamera. Setelah menemukan baterai, ternyata rombongan sudah tidak terlihat. Dan akhirnya tersesat. Hingga masuk ke lokasi makam, yang terkenal dengan nama Makam Batu Raja Sidabutar.

Bertolak belakang sekali dengan pasar suvenir yang penuh dengan hiruk pikuk keramaian, kesunyian dan sepinya suasana terasa kental, nyaris tidak terdengar suara apapun. Di ujung jalan sebuah makam dengan warna merah kusam, berdiri anggun, seakan menyambut setiap pengunjung yang datang ke tempat ini. Suasana semakin terasa sepi, ketika menyaksikan disebelah kanan makam, berderet 22 patung penjaga dan 11 patung disebelah kiri makam, seakan menjaga makam terhormat itu dari gangguan, tangan-tangan usil yang ingin menjamahnya.

Seakan melambangkan keperkasaan seorang raja, makam berukiran patung kepala manusia berukuran besar dibagian depan dan patung seorang wanita dibagian belakangnya ini, juga dilengkapi dengan patung dua ekor gajah, yang seakan siap menjaga tuannya. Makam ini semakin unik dengan tambahan asesoris meja makan dan kursi makan yang semuanya terbuat dari kayu. Lumut-lumut dan warna batu yang mulai menghitam, seakan menjadi saksi bisu waktu yang berlalu dilewati makam ini di tengah kesunyian.

Tidak sampai disitu saja, suasana terasa semakin sakral, ketika menyaksikan dilokasi yang sama, berdiri sebuah pondok beratapkan seng, dan dua buah patung sigale-gale berdiri kokoh di dalamnya. Di depan patung si gale-gale ini, dibangun deretan-deretan bangku tempat duduk, sebagai tempat berlangsungnya upacara tradisional yang dilambangkan dengan tarian si gale-gale.

“Kami tidak tahu sejak kapan makam itu ada disana, tapi menurut keterangan orang-orang tua di Tomok, makam itu adalah Makam Raja Sidabutar, kami termasuk keturunan beliau,” kata wanita yang mengaku bernama Boru Sinaga, ditemui ketika akan meninggalkan makam itu.

Lebih lanjut diterangkan wanita paro baya bernama Boru Sinaga tersebut, deretan patung-patung kecil yang seakan mengelilingi makam, dengan posisi tangan berbeda-beda, ada yang menyembah layaknya berdoa, hingga ada yang mengepalkan tangan, melambangkan prajurit pengiring sang raja. “Makam itu adalah makam terkenal dari Tomok, selain desainnya yang terbuat dari batu utuh, makam itu juga dilengkapi dengan sebuah tongkat, yang menjadi pengiring raja dalam perjalanan,” tambah dua wanita itu.

Tercatat, Makam Batu Raja Sidabutar, telah menjadi objek wisata yang paling sering dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Pada tahun 2005 tercatat sebanyak 11.374 orang wisatawan mancanegara dan 160 orang wisatawan nusantara, datang berkunjung ke tempat ini.

Dan dari catatan sejarah, raja pertama daerah ini dipimpin oleh Raja Oppu Sori Buttu Sidabutar yang wafat pada usia 115 tahun. Kemudian diambil alih oleh anaknya Oppu Ujung Ni Barita Sidabutar dan Raja ketiga, Oppu Solompoan merupakan orang pertama yang menjadi penganut agama Kristen setelah berkelana ke Tapanuli Utara dan bertemu dengan misionaris Jerman Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian kerajaan Sidabutar sekitar 500 tahun silam dikenal sebagai kerajaan terbesar dan terluas kekuasaannya di Pulau Samosir. (bernadette lilia nova)

Pesona Tomok III



Tarian Si Gale-Gale

Mengabadikan sebuah makam batu seorang raja yang berkuasa di zamannya, menjadi sensasi tersendiri, apalagi tidak satu orangpun ditemui, ketika mengabadikan lokasi ini. Namun sensasi sedikit mendebarkan itu, harus segera diakhiri, karena harus mencari rombongan dan melanjutkan perjalanan. Keluar dari areal Makam Batu Raja Sidabutar, dan kembali menyusuri pasar suvenir di sepanjan jalan-jalan kecil di Tomok, suasana kembali ceria, dengan teriakan-teriakan promosi barang-barang yang dilakukan oleh para penjual suvenir dengan berbagai gaya, ada yang berteriak dengan harga paling murah, bahkan ada yang terkesan meminta tolong, agar benda-benda menarik tersebut dibeli.


Di ujung pasar, jalanan berbelok kearah kanan, dan deretan-deretan rumah adat Batak berdiri megah, dengan kayu tanpa cat, dan arsitektur atap yang menarik. Ternyata rombongan Test Drive Suzuki SX4 X-Over tengah bergerombol duduk di bangku-bangku yang ditata di halaman rumah tradisional tersebut. Menunggu dimulainya tarian yang terkenal dengan tarian si gale-gale.

Ada beberapa cerita menarik dibalik kisah Patung Si Gale-Gale ini, diantaranya adalah sebagai gambaran dan pelepas rasa rindu Raja Sidabutar terhadap putranya yang telah meninggal dunia. Karena teramat ingin bertemu dengan putranya yang meninggal, akhirnya sang raja, menugaskan ahli patung untuk membuat sebuah patung dengan wajah menyerupai putranya, dan patung itu dinamakan Patung Si Gale-Gale.

Tidak lama bergabung dengan rombongan, tarian Si Gale-Gale yang lengkap mengenakan ikat kepala, berselendangkan tenunan khas Batak yang bernama ulos, sarung dan kemeja, patung itupun menari mengikuti irama yang dimainkan dari sebuah tape recorder. Sang pemimpin tarian seorang laki-laki paro baya, yang bernama R Sigirok, memimpin tarian. Ada tiga tarian yang dipersembahkan di tengah halaman rumah tradisional tersebut. “Tiga tarian yang kita bawakan adalah tarian yang berhubungan dengan doa atau persembahan, tarian perang dan tarian kemengan,” kata R Sigirok usai menari.

Lebih lanjut, ditambahkan R Sigirok, tiga tarian tersebut, dalam bahasa Tomoknya dikenal dengan tarian Gondang Simula-mula, Gondang Somba-Somba dan Gondang Simonang-Monang, yang biasanya ditarikan dalam acara-acara tradisional Batak. Tidak sampai disitu saja, selain bercerita tentang tarian yang dimainkan, atau yang dikenal juga dengan tarian tor-tor, R Sigirok juga bercerita tentang kisah pertama orang Batak. “Semua orang Batak, berasal dari Pusuk Buhit, yang diturunkan oleh Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa). Dari sanalah nenek moyang orang Batak berawal, hingga menyebar keseluruh dunia,” terang R Sigirok menambahkan. (bernadette lilia nova)

Minggu, 12 Agustus 2007

Eksotisme Pulau Biawak I



PULAU BIAWAK
Si Cantik Nan Kesepian

Menikmati kehidupan satwa liar, mulai dari biawak yang berkeliaran bebas, atau menyaksikan kelucuan clown fish dikedalaman laut, Pulau Biawak tempatnya.

Perjalanan menuju Pulau Biawak, kali ini dimulai dari kantor Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), Yang terletak di Jln Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Setelah bersiap-siap, akhirnya tepat pukul 17.00 rombongan yang lebih kurang berjumlah sembilan orang, berangkat dengan dua mobil yang telah tersedia.

Tujuan pertama adalah Kota Indramayu, yang menjadi kota terakhir, jika hendak menuju Pulau Biawak, yang terletak di pantai Laut Jawa. Walaupun mengalami sedikit kemacetan, akhirnya rombongan yang tergabung dalam Program Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), sampai juga di Kota Indramayu, setelah menempuh perjalanan lebih kurang lima jam dari Jakarta.

Di kota ini, rombongan memutuskan untuk menginap, karena tidak ada penyeberangan malam hari menuju pulau kecil yang tidak tercatat dalam peta internasional. Karena dunia intenasional mengakui Pulau Biawak dengan nama Bonpis Island.

Ketika sinar matahari pagi mulai menyinari bumi, dan keceriaan pagi menjelma lewat tetes-tetes embun yang menguap, rombongan melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan terakhir tempat penyeberangan. Untuk menyeberang menuju Pulau Biawak yang terletak 22 mil sebelah utara Indramayu atau tepatnya berada di 108°23,49 Bujur Timur, dan 06°02’09 Lintang Selatan, rombongan akhirnya tiba di Pelabuhan Karangsong. Dari pusat kota Indramayu menuju Pelabuhan Karangsong hanya ditempuh selama 15 menit perjalanan.




Dipelabuhan ini, suasana pagi dihiasi dengan berbagai aktifitas masyarakat nelayan, usai melaut. Berbagai jenis ikan terlihat diusung dengan keranjang untuk dilelang di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) setempat. Ketika sampai dipelabuhan ini, ternyata KM Biawak dengan kapasitas 25 tempat duduk, telah siap mengantarkan rombongan untuk memulai perjalanan selama tiga jam menuju Pulau Biawak yang direncanakan. Di pelabuhan ini pula, akhirnya rombongan memutuskan untuk membeli dua dus mie isntan dan air mineral.

Dengan mesin baru, KM Biawak yang juga merupakan kapal patroli, melaju pasti memecah gelombang, suasana semakin ceria saja, diatas kapal ini, ketika Sindo berkesempatan mencoba menjadi nahkoda kapal, tentu saja dengan bimbingan dari nahkoda kapal. Berbeda dengan mengemudikan mobil, dimana pengemudi harus menginjak kopling, gas atau rem, di kapal, kemudi hanya dipandu dengan dua buah alat, yaitu kompas dan sebuah nafigasi penunjuk tujuan, yang terletak disebelah kanan dan kiri nahkoda. KM Biawak sudah lebih modern jika dibandingkan dengan kapal-kapal milik nelayan, yang hanya menggunakan kompas sebagai penunjuk arah dan sebuah layar, untuk penggerak. “Pantas saja, jalan kapal seperti ular,” celetuk ABK yang kebetulan mengintip keruang kemudi sambil tertawa.

Puas mengemudikan kapal, menikmati angin laut dan menyaksikan burung camar laut terbang di atas permukaan laut, sambil sesekali menukik untuk memangsa ikan-ikan kecil, merupakan hiburan tersendiri, ketika berada di kapal ini. Sementara dua jam perjalanan, sama sekali belum terlihat tanda-tanda munculnya pulau yang diidamkan dihadapan mata. Kejenuhan di atas kapal, akhirnya teratasi juga dengan bergabung dengan para ABK, diburitan kapal yang tengah melemparkan pancing ke laut. Namun lama menunggu, tidak satupun ikan yang mampir. Wajar saja, karena memancing di kapal dengan kecepatan delapan hingga sepuluh knot, merupakan hal yang tidak lazim dilakukan.
Bosan bergabung dengan ABK diburitan kapal, akhirnya hanya duduk-duduk menikmati aroma laut dan pemandangannya yang serba biru. Baru tiga jam perjalanan, Pulau Biawak muncul perlahan dihadapan mata, awalnya hanya berupa garis tipis diujung cakrawala, semakin mendekat, akhirnya terlihat juga karakter pulau dari kejauhan. Dengan sebuah menara mercusuar berdiri tepat di tengah pulau, seakan membelah dua pulau dengan seimbang. Dari kejauhan keperkasaan mercusuar terlihat sebagai penjaga pulau yang kokoh.

“Tahun 1872, Pulau Biawak bernama Bonpis Island, itu nama yang diberikan oleh Belanda pada saat itu. Perubahan nama kemudian terjadi, ketika para nelayan menemukan pulau itu dengan rakit, akhirnya pulau itu bernama Pulau Rakit. Pulau Rakit berubah lagi menjadi Pulau Biawak, karena di dalamnya memang terdapat lebih dari 400 ekor biawak,” kata Petugas Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai-Penjagaan dan Keselamatan (KPLP/Gamat), Koko Sudeswara.


Semakin mendekati pulau yang memiliki luas 72 hektar, keindahan semakin terasa menggugah hati, dengan kehijauan pohon bakau dipinggir-pinggir pantai ditambah beningnya laut, semakin membuat keindahan pulau terasa semakin menggoda. Untuk mendarat, rombongan harus dijemput oleh kapal nelayan yang berukuran kecil, hanya tiga meter panjangnya, karena KM Biawak, tidak bisa merapat hingga dermaga, karena pantainya yang dangkal.

Setelah memindahkan barang-barang dari KM Biawak ke kapal nelayan, rombonganpun mendarat di dermaga yang hanya terdiri dari susunan papan yang menghitam akibat cuaca laut dan lumut-lumut yang tumbuh menempel. Berjalan di dermaga ini, membutuhkan kehati-hatian, karena papan itu terlihat mulai rapuh dimakan usia dan dibeberapa ujung papan, paku-paku sudah mulai lepas. Sedangkan di ujung dermaga, sebuah gerbang bertuliskan Selamat Datang di Pulau Biawak terpampang menyambut setiap tamu yang datang berkunjung.

Ditempat ini, kemudian rombongan disambut oleh dua penjaga mercusuar yang mendiami pulau tersebut, karena memang pulau cantik ini, tidak berpenghuni kecuali penjaga mercusuar, yang harus menikmati tugas mereka di pulau terpencil ini. Dua penjaga mercusuar itu memperkenalkan diri masing-masing dengan nama Slamet Rianto dan B Sumanto TL. (bernadette lilia nova)

Eksotisme Pulau Biawak II



Tidak Sesuai Brosur

Ada yang unik, atau mungkin bisa dikatakan aneh dari perjalanan menelusuri Pulau Biawak, yang ternyata hanya didiami oleh tiga atau kadang-kadang empat orang penghuni saja. Karena sebelumnya di atas kapal, sambil menikmati hembusan angin dan birunya air, ditingkahi ombak-ombak kecil yang saling berkejaran, rombongan mendapatkan brosur menarik, yang dibagikan oleh Anak Buah Kapal (ABK). Akhirnya sebuah brosur dengan kertas hard paper berwarna keunguan, yang dikeluarkan oleh Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Indramayu, Jln Pabean Udik No 1, seakan memberikan janji tentang fasilitas yang bakal ditemukan di pulau tersebut.

Di dalam brosur, berbagai fasilitas menarik hadir, tentang apa saja yang bisa ditemui, diantaranya, bangunan pusat informasi kawasan konservasi dengan pemandu wisata, panduan informasi zonasi berupa leaflet, radio SSB, ruang audio visual, ruang dapur dan kamar mandi. Ternyata apa yang dihadirkan dalam brosur sama sekali berbeda dengan kondisi Pulau Biawak yang sebenarnya. Di dalam brosur juga ditemukan fasilitas penangkaran biota laut yang terdiri dari tujuh bak penangkaran, dua unit genset, dua pompa air laut, airator blower dan ruangan operator. Namun fasilitas itu hanya ada di brosur semata.

Jika dalam brosur terpampang dengan tulisan indah, fasilitas-fasilitas menarik, di pulau itu sendiri, hanya terdapat tiga bangunan rumah, yang dua diantaranya dihuni oleh pejaga mercusuar. Bangunannyapun mulai keropos disana-sini, karena cuaca. Bangunan lain yang bisa ditemui dilokasi hanyalah sebuah rumah kayu dan bangunan penangkaran biota laut yang terletak agak jauh di dalam hutan, namun tanpa fasilitas dan kedua bangunan tersebut kosong tidak terawat.


“Kita juga tidak tahu kalau pulau tersebut kondisinya sama sekali berbeda dengan yang terdapat dalam brosur. Karena yakin ditempat itu ada fasilitas macam-macam, akhirnya kita tidak membawa perlengkapan yang memadai. Bahkan kita hanya membeli dua dus mie instant dan satu dus air mineral,” kata Kabid Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan, Pusat Data Statistik Dan Informasi, Asri Setiawati.

Terlepas dari brosur yang tidak cocok dengan kondisi yang ditemui dilapangan, keindahan Pulau Biawak sendiri, tidak membuat semangat untuk menjelajahi pulau atau menyelam dikedalaman laut musnah. Namun tidak adanya fasilitas yang memadai seperti dalam brosur, malah membuat rombongan semakin bersemangat menyusuri atau menyaksikan langsung pesona Pulau Biawak dari dekat.

Setelah beristirahat sejenak disebuah pos yang berada di belakang dermaga, rombongan dipandu oleh penjaga mercusuar, Slamet Rianto menuju mercusuar dengan ketinggian 65 meter yang dibangun tahun 1872 silam. Dikelilingi oleh potongan-potongan baja yang diatur seakan menjadi penopang menara, Slamet juga mengajak rombongan menuju ruang mesin, tempat lampu menara dinyalakan. “Dari ruang mesin lampu dinyalakan. Kita memiliki tiga mesin, namun sering rusak. Kalau sudah rusak, terpaksa kita naik ke atas mercusuar dan menyalakan lampu petromak,” kata Slamet.

Tidak adanya fasilitas listrik dan hanya mengandalkan tenaga genset semata, membuat tiga orang penjaga mercusuar harus berjaga secara bergantian untuk mengantisipasi matinya genset. “Namanya juga pengabdian. Kalau lampu sampai mati, kasihan juga kapal-kapal yang lewat malam hari. Sebenarnya kita ditempat ini bertiga, namun karena petugas satu lagi sedang ke Indramayu jadi kita dipulau hanya bertiga dengan istri Sumanto,” kata Slamet menambahkan.

Usai menikmati kemegahan mercusuar peninggalan Belanda, ketika sore menjelang, biawak-biawak yang menjadi ikon pulau tersebut, mulai berkeliaran mencari makanan. Untuk menarik perhatian biawak, salah satu penjaga mercusuar, B Sumanto TL, mengambil jala dan menebarkannya dipantai pulau nan bening. Setelah mendapatkan ikan-ikan kecil, Sumanto kembali diikuti rombongan menuju posko. Dan menebarkan ikan-ikan kecil di jalan setapak dipinggir hutan. Tidak lama menunggu, satu demi satu biawak mulai bermunculan dan datang memakan ikan-ikan kecil yang disebarkan. “Di pulau ini, ada lebih kurang 400 biawak. Diantaranya ada 40 biawak yang jinak,” kata Sumanto.

Memberi makan biawak dan menunggunya melahap ikan-ikan yang disebarkan, menjadi hiburan yang menarik dipulau tanpa penerangan listrik apalagi televisi ini. Setelah memberi makan biawak, acara dilanjutkan dengan mengunjungi tiga makam orang-orang terkenal dimasanya, yang berada di tengah hutan pulau nan eksotis ini. Tiga makam itu dkenal dengan makam Syeh Syarif Khasan dan makam Belanda. “Dulunya Syeh Syarif dari Cirebon terdampar di pulau ini, tidak lama beliau sakit, kemudian meninggal dan dimakamkan ditempat ini,” terang Sumanto.

Berbeda dengan makam Syeh Syarif Khasan yang dibangun menyerupai rumah, lengkap dengan atap dan pintu masuk, makam Belanda di tempat ini, hanya berbentuk tugu segi empat. “Kalau makam Belanda adalah orang Belanda yang meninggal ketika membangun mercusuar. Kuburan ini banyak dijadikan tempat orang-orang bersemedi meminta berkah,” terang Sumanto lagi. (bernadette lilia nova)

Eksotisme Pulau Biawak III

Menyelam Bersama BDC

Keindahan pulau biawak, tidak akan lengkap terasakan, jika hanya menikmati hembusan angin, atau berjalan kaki mengelilingi pulau. Keindahan itu baru terasa lengkap dengan mengarungi kedalaman laut atau menyegarkan pikiran dengan snorkling, sambil menyaksikan beraneka macam ikan laut berenang dikedalaman.

Tiga fasilitas meyelam yang sebelumnya dibawa dari Indramayu, menjadi fasilitas yang layak untuk dicoba. Setelah berganti pakaian, dan mengenakan pakaian selam, instruktur selam yang mengenalkan diri dengan nama Sherly Fernandez,. Instruktur selam dari Biawak Diving Club (BDC), yang bermarkas di Indramayu. Sebelum menyelam, Sherly memberikan pengarahan kepada peserta selam, tentang bagaimana cara menyelam, dan apa saja yang harus diikuti oleh peserta selam, ketika berada di kedalaman laut.

“Sebenarnya untuk menyelam, setiap orang siapapun itu, wajib memiliki surat izin atau lisensi internasional ataupun lisensi nasional. Bagi mereka yang belum memiliki surat izin tersebut, sebenarnya tidak diizinkan menyelam. Namun kali ini saya sudah dapat izin untuk menyelam bersama pengunjung pulau,” kata Sherly Fernandez menerangkan.

Berbeda dengan para jurnalis lainnya, yang masih sibuk mengabadikan keindahan daratan Pulau Biawak, Sindo mulai mencoba melakukan pemanasan untuk menyelam dengan snorkling. Air yang bening dan sejuk, membuat snorkling ditempat ini terasa nyaman. Tanpa gangguan dari sampah atau ceceran oli bekas kapal, seperti yang sering ditemui di laut kota besar. Pemandangan dasar laut dengan snorkling saja sudah terasa menggetarkan, apalagi ketika menyaksikan keberagaman karang dan solf coral yang bergerak lembut, mengikuti arus air dengan clown fish atau ikan-ikan Nemo dengan dua anak-anaknya yang masih kecil, bergerak takut-takut menatap benda asing besar di depannya.

Setelah dua jam melakukan snorkling, peralatan selampun mulai diturunkan. Tabung ogsigen dan pemberat segera dipasang. Setelah semua peralatan terpasang, termasuk sepasang fin atau kaki katak dikenakan, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan mundur menuju ke tengah laut. Maklum dengan fin yang terpasang di kaki, tidak memungkinkan penyelam berjalan dengan menghadap ke depan. Setelah berjalan mundur kira-kira 15 menit, dan laut sudah memperlihatkan batas garis pantai yang dangkal, kedalaman laut diarel ini terasa mengagetkan. Karena dibatasan garis pantai, laut langsung mencapai kedalaman yang tidak bisa ditebak. Dan penyelamanpun dimulai.

Tidak terdengar apa-apa dikedalaman, kecuali suara aliran nafas yang keluar melalui tabung oksigen yang terpasang di mulut, walaupun keheningan terasa menggetarkan, namun pemandangan bawah laut Pulau Biawak, dengan karang besar berbentuk kubah masjid, hingga rumput-rumput laut dan berbagai jenis ikan yang berenang lalu-lalang, menjadi keindahan tersendiri, yang memberikan kesan sendiri. Hampir 15 menit menyelam, ditengah keindahan pesona bawah laut, mendadak instruktur selam kami, menunjuk kesuatu arah, ternyata diantara keindahan koral-koral lembut, keluarga Clown Fish atau si ikan badut, tengah mengamati takut-takut.

Kelucuan dikedalaman laut, semakin menarik ketika ikan badut yang terkenal dengan filmnya Finding Nemo, berani mendekati penyelam ketika para penyelam berdiam diri tanpa bergerak. Tapi ketika penyelam bergerak, Nemo kembali kesarang dan mengintip dari balik solf coral yang mejadi sarangnya. (bernadette lilia nova)

Eksotisme Pulau Biawak IV


Memancing Hingga Subuh

Selain menawarkan berbagai pesona dan keindahan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, Pulau Biawak juga memberikan kenyamanan bagi mereka yang menyukai hobi memancing. Bagaimana tidak, untuk mendapatkan ikan ditempat ini, cukup bermodalkan sebuah kail dengan pemberat, ikan-ikan kecil untuk umpan dan tentu saja kesabaran yang paling utama. Namun ditempat ini, tidak usah menunggu lama, karena ikan-ikan sangat mudah dipancing. Bahkan bisa dikonsumsi untuk sarapan pagi, ketika konsumsi yang dibawa mulai habis.

Setidaknya itulah yang dirasakan, ketika pertama mencoba melemparkan kail dari dermaga, sambil menikmati keindahan matahari terbenam. Laut yang mulai pasang naik, membuat ikan-ikan karang banyak yang berenang kepantai. Setelah sorenya menyelam dan snorkling, memancing menjadi salah satu kegiatan yang mengasikkan.

Setelah mencari tempat yang strategis menurut pendapat masing-masing, akhirnya Sindo mendapatkan tempat untuk memancing di ujung kiri dermaga. Sedangkan rombongan lain, memisahkan diri mencari tempat yang menurut mereka nyaman.

Berbeda dengan pemancing profesional, yang memancing dengan kosentrasi tinggi, bahkan tidak berbicara. Tidak demikian dengan situasi memancing di Pulau Biawak, yang diikuti oleh tiga media Jakarta dan dua media dari Indramayu. Memancing benar-benar terasa menyenangkan, apalagi ditambah dengan celotehan bercanda yang tidak habis-habisnya mengalir.

Satu demi satu, rombongan mulai berteriak senang, karena kail yang mereka lemparkan berhasil mendapatkan ikan. Demikian pula dengan Sindo, tidak beberapa lama, ikan pertama yaitu kakap merah, berhasil ditangkap dan memancing menjadi semakin menarik. Hingga tidak terasa, jarum jam menunjukkan angka tiga pagi, dan satu demi satu rombongan jatuh tertidur bergelimpangan di dermaga.

Tidur di dermaga, sambil memandang bintang-bintang dilangit, atau menikmati hembusan angin, lebih nyaman memang, dari pada tidur di wilayah pulau, namun dikelilingi nyamuk-nyamuk yang tidak henti mengigit. “Tidur di dermaga saja. Lebih enak dan tanpa nyamuk,” kata salah satu peserta dari media di Jakarta.

Hal itu ditanggapi oleh peserta lain, yang membawa pelampung dan menjadikannya alas untuk tidur. Namun sayang ketika sedang asik tidur, mendadak hujan turun dengan derasnya, hingga akhirnya rombongan, bergegas meninggalkan dermaga dan melanjutkan tidur di rumah kayu yang telah dibersihkan sebelumnya. (bernadette lilia nova)