Kamis, 27 November 2008

Jembatan Barelang 1

Pesona Abadi Jembatan Para Raja

Menjadi penghubung pulau Batam, Rempang dan Galang, Jembatan Barelang memiliki pesona dan keindahan yang sanggup mengundang decak kagum.

Selama ini Batam yang terletak di kepulauan Riau, terkenal sebagai pusat belanja benda-benda elektronik yang menarik dan lebih murah dibandingkan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Karena itu, tidak banyak yang menyangka jika di kota dengan penduduk sangat heterogen ini, terdapat objek wisata yang sangat memikat. Objek wisata itu berupa sebuah jembatan yang terkenal dengan nama Jembatan Barelang (Batam, Rempang dan Galang).


Untuk bisa sampai di jembatan sepanjang 264 meter ini, pengunjung harus menggunakan angkutan umum atau mobil pribadi lebih kurang 30 menit dari Bandara Hang Nadim, Batam. Disepanjang jalan yang dilalui, akan terpampang gugusan perbukitan yang mulai terbuka karena dijadikan areal perumahan atau dikeruk tanahnya untuk pembukaan lahan. Maklum sebagai daerah yang berbatasan langsung dangan Singapura, Batam mulai dilirik sebagai kota yang menjanjikan.

Demikian pula ketika rombongan dari Departemen Budaya dan Pariwisata (Budpar RI) menginjakkan kaki dilokasi ini. Keindahan jembatan yang dibangun 1992 dan selesai 1998 ini, mulai terlihat dari kejauhan dengan tiang-tiang baja yang tertata apik, sehingga membuat jembatan ini terlihat menjulang tinggi dengan kokohnya. Maklum jembatan ini dibangun oleh BJ Habibie, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Untuk pembangunan Jembatan Barelang sendiri biaya yang dikeluarkan lebih dari Rp 400 miliar.


Sesampai di jembatan ini, pemandangan akan semakin memikat. Apalagi jika turun dari mobil dan menikmati angin laut yang bertiup. Dari pinggir jembatan akan terlihat keindahan pulau-pulau kecil dengan air laut yang terhampar biru di bawahnya. Ini menjadikan Jembatan Barelang banyak dikunjungi anak-anak muda disore hari untuk duduk dan menikmati hamparan keindahan yang tersaji menjadi lukisan abadi.

Jembatan Barelang sendiri dibuat untuk menghubungkan tiga pulau besar dan beberapa pulau kecil yang termasuk dalam Provinsi Kepulauan Riau. Rangkaian jembatan ini terdiri dari enam jembatan. Masing-masing diberi nama sesuai dengan raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Melayu Riau pada abad 15 sampai 18 Masehi.

Jembatan pertama dari rangkaian enam jembatan ini diberi nama Jembatan Barelang atau terkanal pula dengan nama Jembatan Tengku Raja Haji Fisabilillah. Jembatan pertama ini menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Tonton. Jembatan kedua diberi nama Jembatan Narasinga. Jembatan ini menghubungkan Pulau Tonton dengan Pulau Nipah dengan panjang 420 meter. Jembatan ketiga adalah Jembatan Raja Ali Haji, yang menghubungkan Pulau Nipah dengan Pulau Setokok, dan memiliki panjang 270 meter. Pulau Tonton, Pulau Nipah, dan Pulau Setokok, merupakan pulau-pulau kecil yang masuk dalam gugusan Kepulauan Batam.

Jembatan keempat adalah Jembatan Sultan Zainal Abidin. Jembatan sepanjang 365 meter ini, menghubungkan antara Pulau Setokok dengan Pulau Rempang. Kelima adalah Jembatan Tuanku Tambusai dengan panjang 365 meter. Jembatan ini, menghubungkan antara Pulau Rempang dengan Pulau Galang. Jembatan terakhir dinamai Jembatan Raja Kecil, yang menghubungkan Pulau Galang dengan Pulau Galang Baru. Jembatan ini, merupakan jembatan terpendek hanya sepanjang 180 meter.

"Jembatan Barelang memang indah dan memiliki pemandangan yang menarik. Namun tidak semua turis menyukainya. Untuk itulah kita menyertainya dengan festival-festival kebudayaan," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Batam, Muchsin.

Jembatan Barelang menurut Muchsin banyak dikunjungi oleh wisatawan nusantara. Sedangkan untuk Wisatawan mancanegara lebih menyukai semua yang bernuansa budaya dan kesenian," kata Muchsin lagi.

Tidak sampai disitu saja, keindahan yang disajikan oleh Jembatan Barelang ternyata cukup beralasan. Karena jembatan menggunakan kontruksi cable stayed dimana ujung-ujung kabel terikat di tepi jalan dengan jarak teratur. Sedangkan ujung lainnya terkumpul pada satu titik di atas puncak tonggak beton setinggi 200 meter. Itulah yang membuat jembatan ini terkesan kokoh dan elegan.

Lokasi sepanjang Jembatan Barelang, baik yang dari Batam ataupun diseberangnya, menjadi semakin meriah dengan keberadaan warung-warung traadisional yang menyajikan aneka camilan ringan. Diantara yang paling favorit itu adalah jagung bakar dengan saus aneka rasa. Selain menjual jagung bakar, bisa pula ditemukan aneka suvenir kecil untuk cindera mata. Terkenal sebagai ikonnya Batam, Jembatan Barelang menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakatnya. "Belum lengkap mengunjungi Batam jika belum datang ke Jembatan Barelang. Karena telah menjadi ikon Batam itu membuat kita akan semakin meningkatkan iven-iven kesenian disini," terang Muchsin lagi. (bernadette lilia nova)

Jembatan Barelang 2

Temu Kangen Masyarakat Rantau

Rindu kampung halaman, itulah yang dirasakan oleh warga Singapura yang masih memiliki darah kelahiran Indonesia khususnya Batam di Singapura. Walaupun tinggal menyeberang lebih kurang 20 menit saja, namun tidak selalu mereka bisa datang ke Batam untuk mengobati kerinduan terhadap kampung halaman dan tanah tumpah darah tercinta.

Untuk mewadahi dan memudahkan warga keturunan Batam di Singapura mengobati kerinduan tersebut, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI (Budpar) bekerjasama dengan Pemerintah kota Batam, menggelar acara bertajuk Temu Kangen Warga Perantauan di Batam. Acara dilangsungkan di Hotel Golden View, Jalan Bengkong Laut, Batam. Diikuti oleh 250 Warga Singapura keturunan Indonesia dan Batam pada khususnya. Dalam temu kangen yang dimeriahkan dengan pementasan atraksi budaya dari Indonesia, Singapura dan Melayu ini diikuti oleh suku-suku seperti Suku Bawean, Jawa, Padang dan Melayu.

"Masyarakat Singapura keturunan Indonesia khususnya Batam, sangat mendukung adanya ajang temu kangen ini. Dengan adanya acara ini, bisa kembali mengingatkan Masyarakat Singapura keturunan atas negeri kelahiran mereka," kata Pengurus Persatuan Bawean Singapura Mohamed Arifin Bin Mohamed Salleh.

Ajang temu kangen yang baru pertama dilangsungkan ini, bertujuan untuk mendorong Pemerintah Daerah dan swasta untuk meningkatkan promosi kebudayaan dan pariwisata dalam negeri Indonesia. "Dengan adanya acara temu kangen ini kita bisa memberikan gambaran kepada generasi muda untuk mengetahui bagaimana budaya leluhur mereka," tambah Arifin.

Melihat respon yang diberikan oleh masyarakat Singapura keturunan Batam, Arifin mengaku ajang serupa akan digelar ditahun-tahun mendatang. Untuk menyukseskan ajang temu kangen ini Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Batam, menggandeng sejumlah asosiasi kepariwisataan seperti, Batam Tourism and Cultural Board, Asita Batam, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia Batam dan Batam Tourism Board.

Sementara itu, senada dengan Arifin, Kadin Kebudayaan dan Pariwisata Batam, Muchsin mengaku secara keseluruhan berdasarkan data perkembangan wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia (1997-2007), jumlah kunjungan wisman semakin meningkat. Bahkan pada tahun 2008, Batam menargetkan 1.200.000 wisatawan mancanegara datang ke Batam. (bernadette lilia nova)

Pulau Galang 1

Menyusuri Sejarah Kamp Pengungsi Vietnam

Bekas kamp pengungsian Vietnam yang masih bisa ditemukan jejak dan cerita sejarah di dalamnya terdapat di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau.

Batam adalah sebuah pulau yang penuh dengan kejutan. Kota kepulauan yang berbatasan langsung dengan Singapura itu dikenal sebagai kota bisnis dan tidak banyak yang mengekspose potensi alam yang ada di dalamnya. Karena setiap kali mengunjungi Batam, kebanyakan orang hanya ingin berbisnis atau membeli barang-barang elektronika.

Selain keindahan Jembatan Barelang, Batam ternyata juga memiliki Pulau Galang dengan sejarah kemanusiaan yang penting bagi masyarakat internasional. Bagaimana tidak, di pulau yang telah dihubungkan dengan jembatan tersebut, pernah bermukim 250.000 warga negara Vietnam yang mengungsi dari negaranya akibat perang saudara tahun1975.


Dari pusat kota Batam, dibutuhkan 1,5 jam untuk sampai ke tempat itu. Selain itu dibutuhkan pula kesabaran, karena jalanan yang ditempuh adalah jalanan yang masih sepi dan jalan raya yang dilalui sangat lurus, sehingga terkesan membosankan. Bagi pengunjung yang ingin menyaksikan sendiri jejak sejarah yang masih tersisa di pulau ini harus waspada dengan kondisi mobil yang digunakan. Karena sepanjang jalan hingga ketujuan, tidak ada satupun SPBU.

Setelah melewati lima rangkaian jembatan yang menghubungkan Batam dengan pulau-pulau kecil disekitarnya, jalanan akan semakin sepi apalagi ketika memasuki gerbang yang bertuliskan Galang Refugee Camp Memorial. Suasana ala perkampungan Vietnam mulai terasa, apalagi ketika rombongan kecil dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar RI), melewati sebuah monumen bernama Humanity Statue. Dari tulisan di dekat patung, tertulis bahwa patung itu didirikan oleh para pengungsi untuk mengingat musibah yang menimpa wanita bernama Tinh Nhan. Perempuan itu diperkosa oleh sesama pengungsi di lokasi di mana patung itu kini berada. Tinh Nhan bunuh diri tidak lama setelah itu.

Semakin memasuki areal pengungsian ini, suasana semakin sunyi. Tidak jauh dari tugu kemanusiaan, mata akan tertumbuk pada Pemakaman Ngha Trang. Di areal ini terdapat 503 makam. Di pintu masuk makam tertulis,dedicated to the people who died in the sea on the way to freedom.

Walaupun terkadang terasa mencekam, namun Camp Sinam tetap menarik dengan keberadaan perahu yang digunakan pengungsi untuk menyeberang ke Pulau Galang. Perahu itu dijadikan sebagai simbol penderitaan pengungsi. Lebih keatas lagi, terdapat sebuah barak lengkap dengan ruangan penjara dibagian bawahnya. "Ketika kamp pengungsian ini dibangun, ada pula masyarakatnya yang melakukan tindak kriminal. Makanya dibangun pula penjara," kata Kepala Administrasi Camp Sinam Said Adnan.

Berhadap-hadapan dengan barak dan penjara, terdapat komplek museum. Walaupun kecil namun kenangan atas keberadaan pengungsi Vietnam terasa kental. Apalagi karena di dalam museum bisa ditemukan ribuan foto wajah pengungsi dalam dua warna, hitam putih. Terdapat pula puluhan patung Budha dan Bunda Maria yang digunakan masyarakat untuk beribadah.

"Secara garis besar pengungsian ini dibagi menjadi Galang satu dan Galang dua, namun sarananya sangat lengkap waktu itu. Ada rumah sakit, youth center, kelenteng hingga gereja," tambah Adnan lagi.

Walaupun sarat dengan kenangan bersejarah, banyak pula bagian dari kamp pengungsian ini yang dibiarkan hancur. Disepanjang jalan, banyak terlihat barak yang sangat tidak terawat. Bahkan terdapat barak yang mulai miring menunggu roboh dengan rumput yang tumbuh menjalar hingga ke atap. Suasana semakin mencekam ketika melewati sebuah bangunan besar. Bangunan itu berisi puluhan mobil berbagai jenis yang sudah dimakan karat. "Sebagian dari kamp ini diperbaiki seperti bekas penjara, rumah sakit milik UNHCR. Bahkan gereja katholik di komplek ini masih sangat terawat," terang Adnan lagi.


Camp Sinam yang mulai dibangun era Soeharto atas bantuan dana dari UNHCR yaitu organisasi di PBB yang menangani pengungsi ini, sebenarnya sangat cocok dijadikan sebagai objek wisata sejarah yang tidak mungkin terlupa. Walaupun bagi masyaraka Indonesia Camp Sinam menjadi kebanggaan tersendiri, karena bisa membantu pengungsi korban perang, namun tidak demikian dengan pemerintah Vietnam sekarang. "Bagi Indonesia itu adalah bentuk tingginya toleransi pada pengungsi perang. Namun ternyata Pemerintah Vietnam sekarang menganggap sebagai aib," kata Kadin Pariwisata Kota Batam Muchsin.

Bagian lain dari tempat pengungsian yang tetap berdiri dengan anggun adalah sebuah gereja yang dibangun dengan nama Gereja Maria Dikandung Tanpa Noda. Dihalaman bangunan ibadah ini masih bahkan ada patung perahu dengan Bunda Maria di atasnya. Untuk mencapai gereja ini, tersedia pula sebuah jembatan yang masih kokoh hingga kini.

Tercatat Pulau Galang mencuat namanya sekitar tahun 1970-an .Adalah UNHCR (United Nation High Commission for Refugees) yang memprakarsai dibangunnya kamp pengungsian ini. "Setelah Camp Sinam ditutup, para pengungsi banyak yang pindah ke negara-negara ketiga. Bahkan 2005 masih ada pengungsi yang datang untuk melakukan reuni di pulau tersebut," tambah Muchsin. (bernadette lilia nova)

Pulau Galang 2

Vihara Menghadap Ke Laut

Usai mengelilingi Camp Sinam dengan semua kenangan tentang pengungsi Vietnam di dalamnya, yang tidak kalah menarik untuk disinggahi ketika berada dikawasan ini adalah terdapatnya sebuah vihara bernama Quan Am Tu Quil. Dibangun di atas bukit membuat vihara ini menjadi semakin cantik. Apalagi dengan patung Dewi dengan dua pengiring yang berukuran besar. Lebih kurang lima meter ketinggian masing-masing patung.

Warna-warna cerah dari vihara ini membuat suasana sangat bertolak belakang dengan situasi keseluruhan Camp Sinam. Bahkan vihara ini menjadi objek paling banyak dikunjungi. Vihara semakin menarik karena dibangun menghadap langsung ke sebuah teluk dengan air yang menghampar biru. Rimbunnya hutan mangrove juga terlihat menyegarkan dilihat dari komplek peribadatan ini.

Bahkan ketika rombongan dari Budpar RI sampai dilokasi, di hadapan patung masih tertancap hiu persembahan yang masih mengeluarkan asap. Tanda masih banyak yang datang untuk beribadah. "Memang hingga sekarang, viharaitu masih digunakan oleh masyarakat untuk beribadah," kata Kepala Administrasi Camp Sinam Said Adnan.

Tidak sampai disitu saja, ketika rombongan kecil kami sampai dilokasi, seorang ibu dengan anaknya, yang menjadi penjaga vihara, ternyata juga menjual minuman botol. Jadi setelah capek berkeliling di kamp, vihara ini menjadi tempat yang nyaman untuk melepas lelah untuk sesaat. (bernadette lilia nova)

Selasa, 18 November 2008

Kendari 1

Taman Dan Teluk Di Dalam Kota

Mengunjungi Kendari belumlah lengkap sebelum duduk di taman kotanya atau makan malam disepanjang pantai yang menawarkan ketenangan.


Matahari bersinar cerah dan angin yang bertiup bebas menyegarkan, adalah dua hal yang sangat mudah ditemukan di Kendari (Sulawesi Tenggara). Dari Jakarta untuk mencapai Kendari, Pesawat akan transit terlebih dahulu di Makassar. Terkadang transit ini bisa memakan waktu enam jam. Karena memang rute penerbangan ke Kendari hanya dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore hari saja.

Demikian pula dengan kesibukan Bandar Udara Wolter Mongonsidi di Kendari. Pada siang hari akan ditutup. Bandara hanya dibuka pada jam-jam kedatangan dan keberangkatan pesawat saja. Bersantai sambil melepaskan lelah bisa dilakukan di bandara ini, karena sepi dan jauh dari kesan bising seperti Jakarta atau kota-kota besar lainnya.

Dengan duduk di kursi tunggu bandara, sambil menghirup secangkir kopi atau teh yang banyak dijual di kafe-kafe bandara, karakter Kota Kendari akan terlihat berbukit-bukit. Jika Sudah bosan menikmati pemandangan tersebut, bisa memilih taman bersantai yang banyak dikunjungi oleh anak-anak muda di Kendari, untuk menikmati keindahan dan kesejukan kolaborasi taman dan teluk di dalam kota.

Taman kota itu terletak di Jalan Sultan Hassanuddin. Dari bandara hanya dibutuhkan waktu lebih kurang 30 menit berkendara untuk mencapainya. Di taman ini selain dimanjakan dengan kesejukan dan kehijauan pemandangan, juga bisa dinikmati hamparan Teluk Kendari yang membentang di depannya.

Keunggulan lain dari taman kota di Kendari ini adalah, keberadaannya yang cukup terawat dan bersih. Taman kota ini semakin menarik dengan keberadaan patung-patung pemuda dan pemudi Kendari yang tengah menarikan tarian tradisional bernama Tarian Lulo yang melambangkan persahabatan anak muda di Kendari. Tugu itu menggambarkan pemuda dan pemudi yang tengah menari membentuk lingkaran dibuat lengkap dengan busana tradisional yang berwarna-warni.

"Tarian tradisional tersebut biasanya dibawakan ketika ada pesta-pesta besar. Walaupun demikian hingga sekarang tarian itu masih ditampilkan," kata salah seorang masyarakat kendari yang membuka usaha perhotelan di depan taman kota, Harisi Waingapu.

Keindahan taman kota dengan hamparan teluk yang membiru di depannya, semakin menarik dengan keberadaan tumbuh-tumbuhan dan bunga teratai yang bermekaran di dalamnya. Duduk di taman kota ini, suasana benar-benar tenang. Tidak heran jika pagi dan sore hari banyak orang datang dan menikmati keindahannya.

Taman kota dan Teluk Kendari hanya dibatasi oleh sebuah jalan raya. Setelahnya birunya air teluk sudah bisa dinikmati sambil duduk di taman ini. "Semakin sore semakin banyak orang datang ke taman ini. Karena disepanjang bibir pantai banyak yang berjualan makanan. Makanan bahkan dijual hingga tengah malam," kata Harisi lagi.

Bukan saja makanan yang dicari banyak orang yang datang pada malam hari di taman kota ini. Namun menikmati angin laut sambil duduk ditembok-tembok pembatas laut dengan jalan raya, menjadi pilihan yang perlu dicoba. Karena dengan duduk di malam hari di pinggir teluk, lautnya akan seperti dipenuhi oleh kunang-kunang yang berkelip dan terbang kesana kemari.

Padahal cahaya itu sebenarnya berasal dari perahu nelayan yang tengah melaut dengan lampu kecil sebagai penerangan. Jika mengunjungi Kendari, cobalah duduk di taman kota, hingga malam hari. Suasana akan terasa benar-benar berbeda dan mampu menenangkan jiwa setelah lelah seharian dalam perjalanan. (bernadette lilia nova)

Kendari 2

Rusa Di Taman Kota

Berbeda dengan banyak daerah di Indonesia yang penduduknya memelihara kambing ataupun sapi sebagai matapencarian, di Kendari banyak penduduk memelihara rusa. Terkadang untuk memberi makan rusa-rusanya, penduduk setempat mengikatkan rusanya di taman kota. Karena memang taman kota memiliki rumput segar yang bisa dimakan oleh para rusa.

Keberadaan rusa di dalam taman kota ini sebenarnya dilarang. Namun penduduk tetap saja membiarkan rusa-rusanya makan dari rumput di dalam taman. Karena memang rumput di taman pemotongannya belum dilakukan dengan teratur. Sehingga ketika rumput mulai meninggi penduduk memilih taman kota sebagai tempat makan rusa-rusanya.

Keberadaan rusa-rusa ini sebenarnya tidak terlalu menganggu pengunjung taman. Karena rusa yang diletakkan di taman terlebih dahulu diikat, sehingga tidak berkeliaran jauh ke dalam taman. Rusa hanya menempati pojok kecil taman saja. Namun keberadaannya terkadang menarik minat anak-anak untuk mendekat. Menyentuh rusa dan mengelus kepalanya, mungkin hanya bisa dilakukan di tempat ini. Karena rusa yang dipelihara di dalam taman kota tersebut sudah sangat jinak.

"Keberadaan rusa di taman kota ini, kalau menurut orang-orang yang tidak sering melihatnya, merupakan penambah cantik taman ini. Saya sendiri tidak terganggu dengan keberadaannya. Bahkan saya menyarankan agar rusa itu dilepaskan saja dari talinya agar lebih leluasa berkeliaran di taman," kata pengunjung taman yang juga warga Kendari Budiman.

Rusa di taman kota menurut pria yang baisa disapa dengan panggilan Budi tersebut, menjadikan taman kota memiliki keunikan dan ciri khasnya. Karena dibanyak kota, taman-taman hanya dimeriahkan oleh tugu dan sama sekali tidak memiliki binatang di dalamnya. "Walaupun rusa itu dipelihara oleh masyarakat, Menurut saya keberadaannya menambah cantik taman ini," terangnya. (bernadette lilia nova)

Pulau Renda 1

Merajut Asa Di Pulau Renda


Dihuni oleh Suku Bajo yang terkenal sebagai manusia laut, Pulau Renda mencoba mengembangkan potensi diri berlatar belakang keindahan alam .


Hembusan angin semilir dan matahari yang bersinar cerah, menjadi waktu paling tepat untuk mengunjungi pulau kecil di Tenggara Sulawesi. Pulau dengan luas 218 km persegi itu terkenal dengan nama Pulau Renda. Terletak di Kecamatan Napabalano, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Untuk bisa mengunjungi pulau yang masih asri itu, bisa menyeberang dari Pelabuhan Tampo selama satu jam dengan perahu yang bisa disewa dari penduduk setempat.


Warna laut yang kebiruan, sesekali terlihat ikan-ikan terbang melayang menghindari perahu, membuat penyeberangan terasa menyenangkan. Setelah satu jam bermain dengan ombak dan gelombang yang tidak terlalu besar, pulau kecil yang dulu dikenal dengan nama Bungin Sikalangkah, terpampang di depan mata. Sebuah dermaga yang belum jadi dan gapura berwarna gading menjadi penyambut selamat datang bagi siapapun yang menginjakkan kaki di pulau itu.

Pulau Renda sendiri dihuni oleh mayoritas Suku Bajo dengan jumlah 101 kepala keluarga berdasarkan data tahun 2007. Karena Suku Bajo terkenal memiliki jiwa pelaut dan tidak bisa hidup jauh dari laut, mereka membangun rumah di atas air di pinggir-pinggir pantai. Rumah-rumah berdinding anyaman bambu itu tertata cukup rapi. Sehingga jauh dari kesan kumuh. Anak-anak yang berenang ceria di pantai atau di bawah kolong rumah mereka, menjadi warna keseharian di pulau ini.

Kesederhanaan hidup yang bersahaja, sangat terasa. Walaupun begitu, berbagai fasilitas dan sarana umum sudah bisa ditemukan di dalam pulau yang berbatasan dengan Pulau Bontu-Bontu disebelah utara ini. Tidak jauh dari kebun kelapa milik masyarakat, berdirilah sebuah mesjid. Terdapat pula sebuah sekolah dasar, sehingga anak-anak pulau bisa mengenyam pendidikan dasar di pulau mereka sendiri. Di pulau yang terkenal dengan legenda bintang lautnya ini, juga terdapat pusat kesehatan masyarakat.

"Awalnya sebelum ada program Marine and Coastal Resources Management Project dan program Small Scale Natural Resources Management dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), masyarakat tidak tahu cara memelihara laut dan pantai," kata Sekretaris DKP Kabupaten Muna La Djono.

Sebelum program pemeliharaan sumber daya laut digalakkan seperti, melatih masyarakat membuat keramba tancap, budidaya rumpul laut dan penanaman terumbu karang, masyarakat Suku Bajo yang berdiam di Pulau Renda hanya bisa mencari ikan dengan menggunakan bom ikan. "Program itu mulai diuji coba tahun 2003. Sejak itulah pola mencari nafkah Suku Bajo di Pulau Renda berubah," ujar La Djono lagi.

Dalam program tersebut, selain diberi bantuan dana bergilir, masyarakat juga dilatih untuk mengolah sumber daya alam yang dimiliki. Perubahan dari menangkap ikan dengan bom, kini mulai berganti dengan dibuatnya keramba-keramba tancap. Keberadaan keramba selain sebagai mata pencarian masyarakat, bisa pula menjadi tontonan menarik pengunjung yang datang ke pulau itu. Di keramba yang berjarak 20 meter dari pantai, bisa dilihat proses pemberian makan ikan kerapu. Berbagai jenis ikan kerapu dipelihara, mulai dari kerapu macan, kerapu tikus hingga kerapu lumpur.

Harga ikan kerapu yang cukup mahal, bisa mencapai Rp 200.000 setiap satu kilogramnya, membuat memelihara ikan kerapu menjadi mata pencarian utama masyarakat Pulau Renda sekarang.. Selain membuat keramba tancap, masyarakat juga membudidayakan rumput laut yang dipanen 45 hari sekali. "Hasil panen yang didapatkan oleh masyarakat mulai dari ikan kerapu dan rumput laut, biasanya dibeli olah pengumpul yang datang. Kadang-kadang pula masyarakat menjual langsung ke pulau-pulau terdekat," kata Mantan Ketua Koperasi Bungin Sikalangkah Ahmad Yadi.

Satu-satunya kendala yang dihadapi oleh masyarakat Suku Bajo di Pulau Renda menurut Yadi adalah tidak terdapatnya sumur air tawar. Untuk keperluan air tawar, masyarakat menampung air hujan di dalam bak penampungan air. Jika hujan lama tidak turun dan bak penampungan air sudah kering, Suku Bajo akan berangkat membeli air ke pulau-pulau terdekat. "Saya yakin masyarakat bisa mendapatkan air bersih dengan mengebor tanah. Itu telah dilakukan oleh pulau-pulau lain dan mereka mendapatkan air bersih. Kita masih menunggu bantuan untuk itu," terang Yani.

Kesederhanaan masyarakat Pulau Renda dengan Suku Bajo di dalamnya, bisa menjadi contoh penghuni pulau kecil lainnya di Indonesia, untuk memberdayakan potensi alam yang bisa diolah. Hingga masyarakat bisa merenda sebuah asa yang tidak sia-sia, seperti di Pulau Renda misalnya. (bernadette lilia nova).

Pulau Renda 2

Mangrove Dan Kearifan Lokal


Tidak mudah mengubah sebuah tradisi. Apalagi jika berhubungan dengan hajat hidup masyarakat. Namun berkat kecintaan terhadap laut dan lingkungan disekitarnya, masyarakat Suku Bajo di Pulau Renda mampu mengubah kebiasaan yang telah mengakar turun temurun. Perubahan yang dilakukan mulai dari cara menangkap ikan dengan pengeboman menjadi pembuatan keramba tancap.



Kebiasaan lainnya yang juga berubah drastis pada masyarakat adalah kemampuan menghargai alam. Ditandai dengan kemauan untuk menanam dan menjaga mangrove. "Kalau tidak ada pelatihan dan penyuluhan, saya sama sekali tidak tahu apa itu mangrove. Saya juga tidak tahu bagaimana menanam rumput laut," kata Pengawas Koperasi Bungin Sikalangkah yang juga warga Pulau Renda Rasman.

Berkat kepedulian masyarakat, kini disekeliling pulau telah ditanam ribuan batang mangrove. Penanaman pertama dilakukan tahun 2006 sebanyak 16 ribu pohon dan dilanjutkan tahun 2007 sebanyak 20 ribu batang mangrove. "Agar jerih payah penanaman mangrove tidak sia-sia, masyarakat diberi ganjaran bila menebang atau merusak pohon. Ganjaran bisa berupa pengambilan barang-barang hingga penyitaan kapal," tambah Rasman lagi.

Berkat mangrove yang telah mulai tumbuh disekeliling pulau, ditambah peraturan yang kemudian menjadi kearifan lokal, kini masyarakat sudah bisa menikmati hasil dari mangrove yang mereka tanam. "Dengan adanya mangrove yang mulai tumbuh, masyarakat bisa mendapatkan rajungan dan bisa menangkap ikan dengan mudah. Itu juga menjadi tambahan mata pencarian bagi mereka," ujar dia.

Penanaman bibit mangrove di Pulau Renda bukan tanpa alasan. Pulau Renda yang dalam bahasa Bajo berarti pulau yang terapung dipilih karena pinggir pantai pulau ini menjadi tempat favorit bagi ikan-ikan untuk bertelur. "Itu salah satu alasan mengapa kita memilih Renda, Alasan lainnya adalah dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya yang terdekat, Renda adalah pulau paling tertinggal dibidang ekonomi," Kata Sekretaris DKP Kabupaten Muna La Djono.

Ditambahkan Djono, sejak adanya mangrove, rumput laut dan keramba tancap, masyarakat sama sekali tidak pernah lagi mencari ikan dengan bom ikan. Kearifan itu sesuai dengan tulisan yang bisa dilihat di gerbang pulau. Tulisan itu berbunyi tamakaya alah patanansta itu baka xasisibodangka pagai. Kasalaxatang ampohra tika kabala alah. Dalam bahasa Indonesia berarti kita pelihara lingkungan tempat tinggal kita dan sekitarnya, untuk keselamatan kampung kita dari bencana alam. (bernadette lilia nova)