Sabtu, 05 Januari 2008

Balai Budidaya Laut Sekotong, NTB I


Mengintip Asa Si Telinga Laut

Selain hadir dengan pesona alam nan memukau, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), ternyata menyimpan potensi sebagai penghasil Kerang Abalone atau Telinga Laut.

Pesona Lombok, dengan kehijauan alam dan birunya laut yang mengelilinginya, ternyata tidak henti menawarkan potensi lain yang terkandung didalamnya. Seperti kali ini, Sindo berkesempatan mengunjungi Balai Budidaya Laut Sekotong atau yang dikenal juga dengan istilah, Marine Aquaculture Development Center, yang beralamat di Stasiun Sekotong, Jln Raya Gili Genting, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lobar, Lombok, Nusa Tenggara Barat.


Perjalanan yang ditempuh selama dua jam dari Mataram, menjadi sebuah perjalanan yang memukau. Apalagi dengan hijaunya bukit-bukit, dan padang-padang ilalang, serta rumput meliuk tertiup angin, menjadi pesona menyejukkan yang ditawarkan sepanjang perjalanan menuju Sekotong.


Memasuki Balai Budidaya Laut ini, rombongan yang terdiri dari Pusat Data Statistik dan Informasi (Pusdatin) Departemen Kelautan dan Perikanan, disambut oleh sebuah bangunan berwarna kecoklatan. Sebuah gerbang megah terbuat dari batu, bertuliskan Balai Budidaya Laut Sekotong, terhampar megah dengan desain tradisional, seakan memancing minat para tamu untuk bergegas memasuki lokasi tempat pembudidayaan potensi laut di Lombok ini.


Selain disambut oleh keramahan alam dan hembusan angin laut yang sejuk, rombongan juga disambut hangat oleh Kepala Balai Budidaya Laut Lombok, IBM Swastika Jaya, yang siap mengantarkan rombongan mengelilingi Balai Budidaya Laut, yang dibelakangnya langsung berbatasan dengan pasir putih, dan air bening yang setia menyapu pantai.


Di Balai Budidaya Laut ini, rombongan beristirahat sejenak, sebelum menyusuri ruangan demi ruangan yang berisi berbagai jenis ikan, kerang dan potensi laut lainnya. Usai beristirahat, melepaskan penat diperjalanan, rombongan berjalan memasuki sebuah ruangan. Ruangan itu bernama ruang pembudidayaan.


Di dalam ruangan inilah, benih-benih Kuping Laut, atau Kerang Abalone (aliotis asinine) dibudidayakan. Mulai dari larva hingga kerang dewasa. Di Lombok, kerang jenis ini dikenal masyarakat dengan nama Medau atau kerang mata tujuh. “Kerang Abalone sudah sangat dikenal di Jepang, di Taiwan juga sangat terkenal. Bahkan kerang ini menjadi salah satu makanan paling mahal di Belanda,” kata IBM Swastika Jaya.


Di Indonesia saja, kerang ini cukup mahal. Untuk satu kilogramnya, si Kuping Laut ini bisa dihargai Rp 70 ribu. Sedangkan kalau sudah memasuki pasar internasional, kerang yang memiliki kandungan protein sekitar 71,99 persen ini, bisa dihargai perekor dengan harga USD 8. “Selama ini masyarakat kita, lebih banyak mencari langsung kerang ini di laut, sama sekali belum terfikirkan oleh mereka untuk membudidayakannya. Untuk itu kita mulai memberikan contoh kepada masyarakat, bahwa membudidayakan kerang abalone itu mudah. Walaupun harus menunggu agak lama untuk bisa dipanen,” kata IBM Swastika Jaya lagi.


Setelah puas mengelilingi ruang tempat pembudidayaan abalone dalam ruangan, rombongan diajak menyaksikan pembudidayaan kerang yang terletak sekitar satu kilometer dari bibir pantai. Dengan menumpang kapal motor, rombongan beranjak menuju tempat pembudidayaan kerang yang terletak di tengah laut. Dengan kedalaman lima hingga tujuh meter, kerang-kerang ini dipelihara dengan sistem keramba apung. “Kerang Abalone hidup di daerah berpasir, di keramba apung wadah pemeliharaan bisa dibuat dari kayu atau beton. Kita menerapkan dua sistem budidaya kerang ini yaitu dengan cara keramba apung dan kurungan tancap,” kata IBM Swastika Jaya.


Air yang bening dan terhindar dari berbagai zat kimia, seperti yang terdapat disekitar pantai pusat pembudidayaan, ternyata berpengaruh besar pada pertumbuhan dan kesehatan kerang. “Kerang ini sangat sensitiv dengan bahan-bahan kimia, jadi laut yang bersih dengan air yang tidak tercemar, menjadi sarana paling bagus untuk kerang ini hidup dan tumbuh. Jadi tidak semua laut bisa membudidayakan kerang ini,” terang IBM Swastika lagi.


Puas menyaksikan pembudidayaan si Kuping Laut, rombongan berkesempatan pula mengunjungi keramba apung, yang memelihara berbagai biota laut, seperti ikan kakap, lobster dan rumput laut. “Untuk makanan, Kerang Abalone kita beri rumput laut. Kalau mereka dipelihara di keramba apung atau keramba tancap, proses pertumbuhan lebih cepat, karena banyak makanan lain yang bisa mereka dapatkan, dibandingkan dengan kerang yang dipelihara di ruang pembibitan,” tambah IBM Swastika lagi.


Di tempat ini, rombonganpun memanen kerang berukuran lebih kurang 7 cm, untuk dikonsumsi sebagai lauk makan siang. Untuk memanen kerang jenis ini, ternyata cukup mudah. Rombongan cukup mengangkat satu buah keramba apung, menaikkannya keatas kapal, kemudian memilih kerang berukuran cukup besar untuk dipanen. “Selain memiliki kandungan protein yang tinggi, kerang ini cukup gurih untuk dikonsumsi, walaupun hanya direbus saja,” aku Swastika. (bernadette lilia nova)

Balai Budidaya Laut Sekotong, NTB II


Gurihnya Sup Abalone

Menikmati hasil panen, memang terasa belum lengkap sebelum mencoba mencicipi rasanya ketika dimasak. Itu pula yang dilakukan oleh rombongan usai memanen abalone di keramba apung, Balai Budidaya Laut Lobar. Setelah hampir dua jam tersengat panasnya matahari di tengah laut, rasa lapar dan haus-pun mulai menggoda perut. Tidak heran jika sajian sup abalone menjadi pilihan menarik. Apalagi bagi yang belum pernah mencoba, sup abalone, tentu saja menjadi sebuah menu baru yang cukup menggugah selera.


Untuk memasak abalone menjadi makanan yang nikmat dikonsumsi, ternyata tidak membutuhkan berbagai macam bumbu masak. Karena dengan sedikit bumbu saja, kerang ini sudah terasa cukup nikmat, ketika dimakan dengan sepiring nasi ataupun sepotong ketupat. Agar Kerang Abalone yang dimasak terasa lebih empuk lagi, kerang ini harus direbus terlebih dahulu selama 25 menit. “Untuk sup abalone kali ini kita hanya menggunakan sedikit bumbu masak, ditambah bawang merah dan bawang putih dan sedikit garam,” kata Koordinator Pakan Balai Budidaya Laut Lombok Sunarti.


Walaupun sudah dimasak menjadi sup, ternyata abalone masih tetap berukuran besar dan tidak mengecil seperti kerang-kerang lainnya, sehingga untuk sepuluh ekor kerang, bisa menghasilkan satu mangkok besar sup abalone. “Kalau orang-orang barat atau Jepang, lebih menyukai abalone tanpa bumbu. Cukup direbus hingga empuk ditaburi sedikit garam. Itu membuat rasa asli abalone yang gurih terasa dilidah,” terang Sunarti menambahkan.


Lebih lanjut ditambahkan Sunarti, berbeda dengan kerang-kerang lainnya, yang walaupun sudah direbus, namun masih meninggalkan bau amis yang tidak enak, abalone sama sekali tidak berbau. “Abalone ini bisa juga dikonsumsi dengan menggunakan saos, selain dibikin sup, abalone bisa juga dijadikan sate yang nikmat. Tergantung selera masing-masing. Tapi kalau saya menyukai abalone dengan rasa asli, hanya direbus saja,” aku Sunarti lagi. (bernadette lilia nova)

Balai Budidaya Laut Sekotong, NTB III



Memandikan Ikan Napoleon
Birunya air laut, dan kesejukan angin yang berhembus, terasa lebih sempurna ketika usai menikmati sop abalone yang gurih. Namun perjalanan tidak berhenti hingga disitu saja. Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi tempat pemeliharaan biota-biota laut. Mulai dari berbagai jenis kerang, ikan-ikan langka hingga lobster. Di tempat ini, berdiri puluhan bak-bak pemeliharaan, yang langsung memompakan air laut kedalam setiap bak.

Dari sekian banyak biota laut yang dipelihara dipusat pemeliharaan tersebut, salah satu sajian paling menarik yang terlihat, adalah proses memandikan Ikan Napoleon. Walaupun mayoritas hidup Ikan Napoleon berada di lautan, namun ikan mahal yang dihargai dengan harga Rp 800 ribu untuk satu kilogramnya ini, ternyata juga perlu dimandikan.

Berbeda dengan memandikan binatang peliharaan lainnya, seperti anjing atau kucing, yang butuh shampo ataupun salon kecantikan, tidak demikian dengan Ikan Napoleon. Untuk menghilangkan virus ataupun jamur yang terdapat pada sisik, ikan yang bisa berukuran lebih dari dua meter tersebut, hanya butuh satu bak air tawar. Di dalam bak air tawar inilah, kemudian satu demi satu Ikan Napoleon dimasukkan, dan digosok-gosok dengan tangan. “Dalam satu bulan, Ikan Napoleon biasanya kita mandikan dua kali. Ini untuk mencegah berkembangnya virus ataupun kutu-kutu ikan,” kata Koordinator Fin Fish Balai Budidaya Laut Sekotong Sarwono, ditemui ketika sedang memandikan ikan.

Sedangkan untuk menjaga agar ikan tidak stress ketika dimandikan karena berada di air tawar, Suwarno mengaku waktu yang dibutuhkan untuk memandikan ikan di air tawar, hanya tiga hingga lima menit. Lebih dari itu, ikan akan stress. Selain dimandikan dengan air tawar, ternyata Ikan Napoleon juga membutuhkan perawatan khusus, agar tetap sehat ketika berada dalam kolam pemeliharaan. “Selain dimandikan, Ikan Napoleon juga mengonsumsi vitamin. Biasanya kita memberikan vitamin E yang diambil dari Natur E,” terangnya.

Berbeda dengan cara manusia mengkonsumsi vitamin atau obat-obatan, yang cukup diminum dengan air, untuk Ikan Napoleon pemberian vitamin harus dengan taktik tersendiri, agar vitamin tidak terbuang sia-sia. “Karena ikan ini biasanya memakan cumi-cumi, ataupun ikan segar, jadi di dalam cumi-cumi atau ikan tersebut kita sisipkan vitamin E,” terang Suwarno.
Selain pemberian Vitamin E, ternyata perawatan Ikan Napoleon tidak berhenti hingga disitu saja, karena dua kali dalam satu minggu, ikan ini juga harus diberi multivitamin tambahan, yaitu BK-505. “Natur E biasanya kita berikan setiap Jumat, sedangkan BK-5O5, kita berikan setiap Senin dan Rabu,” ujarnya.

Vitamin dan multivitamin yang diberikan tersebut, ternyata sangat bermanfaat, karena ikan ini termasuk jenis yang sangat rawan terkena bakteri dan virus. Virus-virus yang menyerang tersebut seperti kutu atau dikenal dengan Argulus dan cacing Benedenia yang menyerang mata. “Biasanya cacing atau kutu akan hilang, ketika ikan dimandikan dan diberi vitamin atau multivitamin,” kata Suwarno. (bernadette lilia nova)

Balai Budidaya Laut Sekotong, NTB IV


Menanam Rumput Laut

Selain disuguhi berbagai kegiatan menarik, Balai Budidaya Laut Lobar, ternyata juga menyimpan potensi lain, yang tidak kalah menggoda. Yaitu sebagai salah satu tempat budidaya rumput laut. Di tempat ini, terdapat sembilan jenis rumput laut dan menjadi salah satu pusat pembudidayaan rumput laut terbesar kedua di dunia.

Sembilan varietes rumput laut itu adalah, Cotoni, Tembalang Merah, Tembalang Hijau, Saccul, Philipina Merah, Philipina Hijau, Rumput Maumere, Spinoium dan Ptilophora. Dari sembilan jenis rumput laut, varietes yang paling terkenal dan menjadi salah satu bahan pokok pembuatan kertas adalah jenis Ptilophora. Untuk pembudidayaan rumput jenis ini, juga tidak terlalu sulit, setelah benih rumput laut diikat dengan tali, kemudian ditenggelamkan hingga kedalaman lima meter dengan sistem patok dasar.

Walaupun tergolong mudah proses pembudidayaannya, rumput laut jenis Ptilophora ini, membutuhkan suhu 26 OC, dan harus berada ditengah air berarus. “Untuk pembudidayaan rumput laut bahan baku kertas ini, kita bekerjasama dengan Korea. Rencananya kita akan menanamnya di areal seluas 500 hektar diseluruh Indonesia,” kata Koordinator Rumput Laut Balai Budidaya Laut Lobar Rusman.

Untuk memudahkan proses penanaman rumput laut, waktu yang paling tepat, adalah ketika pagi hari. Pada saat ini, air laut sedang surut sehingga memudahkan para penanam rumput laut bekerja. Sedangkan pada siang hari, air mulai naik sehingga para petani menyudahi aktifitasnya dan bekerja di tempatnya masing-masing untuk membersihkan hasil panen, menjemur maupun mengikat bibit untuk ditanam keesokan Harinya.

“Berbeda dengan rumput laut jenis lainnya, yang bisa dipanen ketika berumur 40 hari, rumput laut jenis Ptilophora baru bisa dipanen ketika berusia 70 hari. Karena rumput laut ini pertumbuhannya lebih lama dibandingkan dengan jenis lain. Namun harganya lebih mahal,” ungkap Rusman menerangkan.

Untuk mendapatkan kualitas rumput laut yang baik, Balai Pembudidayaan Laut Sekotong, juga menerapkan penelitian untuk pengujian di laboratorium. Baik dari bibit hingga kualitas perairan. “Penelitian sangat penting, karena kita bisa mengetahui bagaiman proses budidaya yang terbaik. Sehingga kalau ada kendala di lapangan bisa segera teratasi,” kata dia. (bernadette lilia nova)