Sabtu, 08 September 2007

Pesona Tomok I


Eksotisme Desa Kecil Tomok

Mengunjungi Medan, Sumatera Utara terasa belum lengkap, sebelum menginjakkan kaki dan menjelajahi desa kecil di Pulau Samosir, Tomok.

Masih terlalu pagi waktu itu, kurang lebih pukul 04.30, ketika satu demi satu rombongan yang tergabung dalam acara Test Drive Suzuki SX4 X-Over, dengan tujuan Medan, Sumatera Utara, check in di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta Cengkareng. Masih dengan suasana mengantuk, satu demi satu 12 orang yang tergabung dalam rombongan menuju, ruang tunggu pesawat, dan dengan setia menunggu pesawat menerbangkan rombongan.

Tidak lama menunggu, pesawat yang akan membawa rombongan-pun datang, dan berangkat menuju Medan. Dua jam waktu dalam perjalanan, ternyata cukup lumayan untuk melanjutkan istirahat atau sekadar tidur-tidur ayam dan memejamkan mata yang masih terasa panas, gara-gara harus bangun pagi-pagi sekali.

Penerbangan yang berjalan hampir dua jam, terasa nyaman dengan pemandangan yang tersaji dari ketinggian, apalagi ketika pesawat hendak mendarat. Kehijauan pohon-pohon dan deretan-deretan kebun kelapa sawit yang terbentang luas, terasa menyegarkan dilihat dari ketinggian. Suasana sejuk, semakin terasa ketika melihat sungai yang meliuk dengan airnya yang kemilau seperti perak.

Mendarat di Bandara Udara Internasional Polonia Medan, nuansa tradisi terasa kental, ketika menyaksikan atap gedung bandara, ditata ala rumah tradisional Medan, dengan atap tinggi berbentuk segitiga. Di luar bandara, rombongan disambut meriah oleh panitia Test Drive Suzuki SX4 X-Over. Yang langsung memberikan kunci kepada para jurnalis untuk segera mencoba mengemudikan mobil yang akan diluncurkan April mendatang.

Setelah semua rombongan memasuki mobil, perjalanan menuju kota Medan segera dimulai, ternyata jarak antara Bandar Udara Polonia hingga pusat kota Medan hanya ditempuh selama lebih kurang sepuluh menit. Dan sesampai di kota Medan, rombongan berhenti untuk sarapan. Setelah sarapan, perjalanan dilanjutkan kembali dengan tujuan Parapat.

Menelusuri jalan-jalan kota Medan pagi hari, terasa menyenangkan, dengan deretan-deretan bangunan-bangunan modern layaknya Jakarta. Sama sekali tidak terlihat bangunan tradisional di sepanjang jalan di kota ini. Bahkan yang cukup mengagetkan adalah, munculnya sebuah bangunan berarsitek cina, di Jln Kesawan. Mulai dari atap hingga ukiran-ukiran yang terlihat, semua kental nuansa China.

Ternyata, bangunan berarsitek China tersebut, adalah sebuah kediaman keturunan China yang terkenal dengan nama Tjong A Fie (1860–1921). Tjong A Fie adalah seorang pebisnis dan bankir Tionghoa yang terkenal dari kota Medan, Tjong A Fie meninggal pada tahun 1921.

Tidak banyak pemandangan yang bisa dinikmati di sepanjang jalan di tengah kota Medan, karena mobil melaju kencang. Malah perjalanan terasa lebih menantang ketika rombongan memasuki jalan tol menuju Parapat. Kota terakhir sebelum menyeberang menuju Pulau Samosir, yang terkenal dengan keelokan dan kekayaan budaya di dalamnya.

Berbeda dengan kebanyakan jalan tol di Jakarta, jalan tol ini, hanya ditempuh kurang dari 15 menit. Dan uniknya, sekaligus berbahaya, tepat di KM 32, jalan tol yang seharusnya satu arah, disini jalan tol menjadi dua arah, bahkan tanpa pembatas di antara dua jalur. Sehingga rombongan-pun tidak berkutik ketika sebuah truk semen berjalan pelan persis di depan mobil rombongan, tanpa bisa menyalip layaknya jalan tol di Jakarta.

Memasuki Parapat, kehijauan dan kesegaran udara yang berhembus semilir terasa sangat menghibur, apalagi menyaksikan kehijauan pohon-pohon karet dan perkebunan kelapa sawit, menjadi pemandangan utama yang datang silih berganti dari jendela mobil. Hamparan bukit-bukit menghijau, semakin membuat rombongan tidak henti-henti memuji keindahan kota ini.

Rombongan semakin terpesona, ketika mobil berhenti disebuah kedai kopi. Yang menarik dari warung kopi ini, adalah pemandangan dan bangunannya yang terletak dibibir tebing, sedangkan di bawahnya terhampar pemandangan Danau Toba dengan Pulau Samosir di tengah-tengahnya. Masih berselimut kabut tipis, rombonganpun berhenti dan mulai beraksi dengan mengabadikan keindahan itu dengan kamera foto.

Setelah puas mengabadikan keindahan Danau Toba dengan Pulau Samosir di tengahnya, rombonganpun kembali melanjutkan perjalanan, dan jalananpun terasa menjadi lebih berliku dan mulai menurun. Hingga akhirnya sebuah dermaga, menghentikan perjalanan rombongan. Itulah dermaga tempat kapal-kapal yang menamakan diri dengan KM Toba Cruise berjejer menunggu penumpang yang ingin menyeberang menuju Pulau Samosir di tengahnya.

Sebelum menyeberang, rombongan ternyata memutuskan untuk meletakkan barang-barang ke Hotel Niagara, tempat rombongan menginap. Tidak lama di Hotel, rombonganpun kembali melanjutkan perjalanan menuju dermaga di Parapat, dan memilih KM Toba Cruise 8, untuk menyeberangkan rombongan.

Tidak berbeda dengan tempat penyeberangan lain, di Dermaga Parapat-pun banyak anak-anak dengan perahu dayung kecil, berteriak-teriak agar penumpang kapal melemparkan uang koin yang mereka miliki ke dalam danau. Dengan kemahirannya anak-anak bertelanjang dada ini, menyelam dan menemukan koin yang dilemparkan.

Terlepas dari itu, Danau Toba sendiri terlihat seperti laut, karena ukurannya yang sangat besar. Tercatat, danau ini, memiliki panjang kira-kira 100 km dan lebar 30 km. Sedangkan Pulau Samosir, juga sangat luas. Dibutuhkan waktu sekitar delapan jam untuk mengelilingi pulau itu dengan mobil. Dari Parapat terlihat bahwa bukit-bukit di Samosir memiliki ketinggian kira-kira 20 m dari permukaan air danau.

Perjalanan dengan KM Toba Cruise 8, ternyata membutuhkan waktu lebih kurang 30 menit, air danau yang makin biru, dan pemandangan menarik tidak henti-henti disajikan ketika mengarungi danau ini menuju Pulau Samosir. Deretan perkampungan dari kejauhan dan bangunan-bangunan gereja di ketinggian bukit, membuat perjalanan dengan KM Toba Cruise 8 terasa romantis. Belum lagi hembusan angin dan menikmati gemericik air yang menerpa sisi kapal. Dari atas kapal ini, juga terlihat Wisma Soekarno, tempat Presiden pertama Indonesia itu diasingkan, dengan desain bangunan yang dicat dengan warna putih nan megah.

30 menit di atas KM Toba Cruise 8, rombongan mulai memasuki Pelabuhan Wisata Tomok, Kecamatan Simarindo, Medan, Sumatera Utara. Sebuah dermaga terlihat menjulang, dengan ukiran-ukiran tradisional Batak, yaitu sepasang cecak. Bukti kerukunan suku Batak, diabadikan di tugu selamat datang ini, dengan ukiran timbul masing-masing sepasang pengantin dengan pakaian tradisional Simalungun, Toba Karo, Pak-Pak, Mandailing, dan tulisan besar bertuliskan Horas dan Selamat Datang di Tomok. (bernadette lilia nova)

Pesona Tomok II


Makam Batu Raja Sidabutar

Perjalanan belum berakhir hingga di Pelabuhan Wisata Tomok, Kecamatan Simarindo. Namun keramahan masyarakat Tomok yang mulai terbiasa dengan kedatangan turis mancanegara apalagi turis lokal, seakan mengundang rombongan untuk menjelajah lebih dalam memasuki desa kecil nan eksotis ini. Kedatangan turis lokal ini, kemudian dimanfaatkan masyarakat dengan menjual berbagai suvenir khas Batak, mulai dari kalender Batak, yang terdiri dari 12 batang bambu kecil-kecil yang disatukan dengan benang, dan cocok digantungkan di pintu ataupun didinding rumah hingga baju-baju kaos bertuliskan Danau Toba, yang ditawarkan dengan harga bervariasi.

menelusuri kawasan ini, nuansa tradisi terasa kental, apalagi ketika menyaksikan deretan-deretan bangunan toko dan ruko beratap segitiga menjulang, khas Batak yang tertata apik, sehingga membuat suasana belanja di tempat ini terasa nyaman. Di tempat ini, akhirnya SINDO harus terpisah dari rombogan, karena harus mencari baterai untuk kamera. Setelah menemukan baterai, ternyata rombongan sudah tidak terlihat. Dan akhirnya tersesat. Hingga masuk ke lokasi makam, yang terkenal dengan nama Makam Batu Raja Sidabutar.

Bertolak belakang sekali dengan pasar suvenir yang penuh dengan hiruk pikuk keramaian, kesunyian dan sepinya suasana terasa kental, nyaris tidak terdengar suara apapun. Di ujung jalan sebuah makam dengan warna merah kusam, berdiri anggun, seakan menyambut setiap pengunjung yang datang ke tempat ini. Suasana semakin terasa sepi, ketika menyaksikan disebelah kanan makam, berderet 22 patung penjaga dan 11 patung disebelah kiri makam, seakan menjaga makam terhormat itu dari gangguan, tangan-tangan usil yang ingin menjamahnya.

Seakan melambangkan keperkasaan seorang raja, makam berukiran patung kepala manusia berukuran besar dibagian depan dan patung seorang wanita dibagian belakangnya ini, juga dilengkapi dengan patung dua ekor gajah, yang seakan siap menjaga tuannya. Makam ini semakin unik dengan tambahan asesoris meja makan dan kursi makan yang semuanya terbuat dari kayu. Lumut-lumut dan warna batu yang mulai menghitam, seakan menjadi saksi bisu waktu yang berlalu dilewati makam ini di tengah kesunyian.

Tidak sampai disitu saja, suasana terasa semakin sakral, ketika menyaksikan dilokasi yang sama, berdiri sebuah pondok beratapkan seng, dan dua buah patung sigale-gale berdiri kokoh di dalamnya. Di depan patung si gale-gale ini, dibangun deretan-deretan bangku tempat duduk, sebagai tempat berlangsungnya upacara tradisional yang dilambangkan dengan tarian si gale-gale.

“Kami tidak tahu sejak kapan makam itu ada disana, tapi menurut keterangan orang-orang tua di Tomok, makam itu adalah Makam Raja Sidabutar, kami termasuk keturunan beliau,” kata wanita yang mengaku bernama Boru Sinaga, ditemui ketika akan meninggalkan makam itu.

Lebih lanjut diterangkan wanita paro baya bernama Boru Sinaga tersebut, deretan patung-patung kecil yang seakan mengelilingi makam, dengan posisi tangan berbeda-beda, ada yang menyembah layaknya berdoa, hingga ada yang mengepalkan tangan, melambangkan prajurit pengiring sang raja. “Makam itu adalah makam terkenal dari Tomok, selain desainnya yang terbuat dari batu utuh, makam itu juga dilengkapi dengan sebuah tongkat, yang menjadi pengiring raja dalam perjalanan,” tambah dua wanita itu.

Tercatat, Makam Batu Raja Sidabutar, telah menjadi objek wisata yang paling sering dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Pada tahun 2005 tercatat sebanyak 11.374 orang wisatawan mancanegara dan 160 orang wisatawan nusantara, datang berkunjung ke tempat ini.

Dan dari catatan sejarah, raja pertama daerah ini dipimpin oleh Raja Oppu Sori Buttu Sidabutar yang wafat pada usia 115 tahun. Kemudian diambil alih oleh anaknya Oppu Ujung Ni Barita Sidabutar dan Raja ketiga, Oppu Solompoan merupakan orang pertama yang menjadi penganut agama Kristen setelah berkelana ke Tapanuli Utara dan bertemu dengan misionaris Jerman Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian kerajaan Sidabutar sekitar 500 tahun silam dikenal sebagai kerajaan terbesar dan terluas kekuasaannya di Pulau Samosir. (bernadette lilia nova)

Pesona Tomok III



Tarian Si Gale-Gale

Mengabadikan sebuah makam batu seorang raja yang berkuasa di zamannya, menjadi sensasi tersendiri, apalagi tidak satu orangpun ditemui, ketika mengabadikan lokasi ini. Namun sensasi sedikit mendebarkan itu, harus segera diakhiri, karena harus mencari rombongan dan melanjutkan perjalanan. Keluar dari areal Makam Batu Raja Sidabutar, dan kembali menyusuri pasar suvenir di sepanjan jalan-jalan kecil di Tomok, suasana kembali ceria, dengan teriakan-teriakan promosi barang-barang yang dilakukan oleh para penjual suvenir dengan berbagai gaya, ada yang berteriak dengan harga paling murah, bahkan ada yang terkesan meminta tolong, agar benda-benda menarik tersebut dibeli.


Di ujung pasar, jalanan berbelok kearah kanan, dan deretan-deretan rumah adat Batak berdiri megah, dengan kayu tanpa cat, dan arsitektur atap yang menarik. Ternyata rombongan Test Drive Suzuki SX4 X-Over tengah bergerombol duduk di bangku-bangku yang ditata di halaman rumah tradisional tersebut. Menunggu dimulainya tarian yang terkenal dengan tarian si gale-gale.

Ada beberapa cerita menarik dibalik kisah Patung Si Gale-Gale ini, diantaranya adalah sebagai gambaran dan pelepas rasa rindu Raja Sidabutar terhadap putranya yang telah meninggal dunia. Karena teramat ingin bertemu dengan putranya yang meninggal, akhirnya sang raja, menugaskan ahli patung untuk membuat sebuah patung dengan wajah menyerupai putranya, dan patung itu dinamakan Patung Si Gale-Gale.

Tidak lama bergabung dengan rombongan, tarian Si Gale-Gale yang lengkap mengenakan ikat kepala, berselendangkan tenunan khas Batak yang bernama ulos, sarung dan kemeja, patung itupun menari mengikuti irama yang dimainkan dari sebuah tape recorder. Sang pemimpin tarian seorang laki-laki paro baya, yang bernama R Sigirok, memimpin tarian. Ada tiga tarian yang dipersembahkan di tengah halaman rumah tradisional tersebut. “Tiga tarian yang kita bawakan adalah tarian yang berhubungan dengan doa atau persembahan, tarian perang dan tarian kemengan,” kata R Sigirok usai menari.

Lebih lanjut, ditambahkan R Sigirok, tiga tarian tersebut, dalam bahasa Tomoknya dikenal dengan tarian Gondang Simula-mula, Gondang Somba-Somba dan Gondang Simonang-Monang, yang biasanya ditarikan dalam acara-acara tradisional Batak. Tidak sampai disitu saja, selain bercerita tentang tarian yang dimainkan, atau yang dikenal juga dengan tarian tor-tor, R Sigirok juga bercerita tentang kisah pertama orang Batak. “Semua orang Batak, berasal dari Pusuk Buhit, yang diturunkan oleh Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa). Dari sanalah nenek moyang orang Batak berawal, hingga menyebar keseluruh dunia,” terang R Sigirok menambahkan. (bernadette lilia nova)